AS-Mesir-Israel Gelar Rapat, Kairo Ogah Buka Perbatasan Rafah Kalau IDF Kuasai Koridor Philadelphia
TRIBUNNEWS.COM - Pertemuan antara Mesir, Amerika Serikat (AS), dan Israel dilaporkan akan diadakan di ibu kota Mesir, Kairo, pada Minggu (2/6/2024).
Rapat itu disebutkan untuk membahas dimulainya kembali pembukaan penyeberangan Rafah, menurut laporan media Mesir “Saluran Berita Kairo” dari sumber yang digambarkannya memiliki peringkat tinggi di pemerintahan.
Mesir mendesak penarikan penuh pasukan Israel dari penyeberangan tersebut.
Baca juga: Aksi Israel Kuasai Sepenuhnya Koridor Philadelphia Bisa Jadi Langkah Bunuh Diri IDF dan Warga Gaza
Sumber tersebut mengatakan pada Sabtu (1/6/2024) kalau Mesir menegaskan kepada semua pihak sikapnya yang tegas dan konsisten untuk tidak membuka penyeberangan Rafah selama Israel tetap memegang kendali penuh dan berada di bagian perbatasan wilayah Palestina.
Dia menambahkan bahwa Mesir menganggap pihak Israel bertanggung jawab atas akibat penutupan ini dan memburuknya kondisi kemanusiaan di Jalur Gaza.
Dia menjelaskan bahwa ada upaya intensif Mesir untuk kembali ke perundingan gencatan senjata di Jalur Gaza, mengingat usulan Amerika baru-baru ini.
Baca juga: Analis Geopolitik: Pidato Biden Isyaratkan Keyakinan AS Kalau Israel Tak Bakal Menang atas Hamas
Seperti dilaporkan, setelah Israel mengumumkan pada Rabu bahwa mereka telah menguasai Koridor Philadelphia di sepanjang perbatasan Palestina-Mesir, blokade tentara IDF di seluruh perbatasan Jalur Gaza diperkuat, dan semua titik masuk bantuan berhasil direbut.
Tindakan ini memutuskan hubungan geografis Gaza dengan Mesir, sehingga memungkinkan pemerintahan Tel Aviv menghalangi atau membatasi masuknya bantuan kemanusiaan ke Gaza.
Wilayah ini telah mengalami krisis kemanusiaan besar akibat serangan yang terus berlanjut sejak 7 Oktober 2023.
Yang paling terkena dampak dari perkembangan ini adalah 2,3 juta warga Palestina yang tinggal di Jalur Gaza di mana masyarakatnya sudah menderita kekurangan makanan, air, dan obat-obatan yang parah akibat pembatasan yang dilakukan Israel, yang melanggar hukum internasional dan hukum perang.
Menurut pernyataan dari Kantor Media pemerintah Gaza, 2,3 juta warga Palestina, termasuk 2 juta orang yang telah berulang kali mengungsi dan bergantung pada bantuan harian, membutuhkan lebih dari 7 juta makanan per hari karena kebijakan “kelaparan” Israel.
Selain itu, bahan bakar, obat-obatan, dan kebutuhan vital lainnya harus dikirim ke wilayah tersebut untuk memenuhi kebutuhan para pengungsi.
Namun, pembatasan ketat Israel terhadap masuknya bantuan dan penutupan penyeberangan perbatasan memperburuk krisis kemanusiaan di wilayah kantong Palestina yang terkepung.