TRIBUNNEWS.COM – Seorang pejabat senior perbankan Israel curhat bahwa kondisi investasi di Israel kini buruk karena efek perang di Jalur Gaza.
Pejabat itu mengatakan saat ini investor mulai ramai-ramai menarik dana mereka dari Israel. Dia memperkirakan ada penarikan dana yang bernilai hingga miliaran shekel.
Di samping itu, dia menyebut pembelian obligasi Israel sudah berkurang secara signifikan. Situasi seperti ini belum pernah terjadi dalam bertahun-tahun sebelumnya.
Menurut dia, perusahaan-perusahaan Israel kini juga tidak memindahkan dana ke luar negeri.
“Kami menjadi tidak disukai secara ekonomi, hampir paria di beberapa bidang,” kata pejabat itu dikutip dari Yedioth Ahronoth.
Banyak perusahaan kini berisiko karena entitas internasional memberlakukan boikot informal terhadap perusahaan dan pabrik Israel, menghindari investasi di sini,” katanya menambahkan.
Dia berharap pemerintah negara Zionis itu segera bergerak untuk mengatasi persoalan itu.
“Pemerintah harus segera membuat rencana darurat untuk menyelamatkan entitas bisnis dari situasi yang bisa menjadi ancaman nyata bagi stabilitas ekonomi Israel,” ujarnya.
“Pada masa perang, kita memerlukan strategi yang tidak hanya melenyapkan sosok seperti Sinwar (pemimpin Hamas), meski hal itu penting, tetapi juga melindungi dan mempertahankan beberapa perusahaan besar Israel serta bisnis kecil.”
Kepala Otoritas Keamanan Israel Seffy Zinger juga mengungkapkan adanya penurunan investasi.
“Bahkan, sebelum perang, ada penurunan investasi asing di Israel. Perang ini mempercepat kecenderungan itu,” ucap Zinger.
Baca juga: Tingkatkan Risiko Kelaparan di Gaza, Oxfam: Israel Halangi Bantuan Secara Sengaja, Ilegal, dan Kejam
Zinger berujar bahwa investor asing telah menarik dana lebih dari 34 miliar shekel dari pasar saham Israel sejak perang di Gaza pecah.
“8 miliar dari ekuitas, 14 miliar dari obligasi pemerintah, 6 miliar dari pinjaman jangka pendek, dan 5 miliar dari obligasi perusahaan.”
Ekonomi terkontraksi 20 persen
Ekonomi Israel dilaporkan terkontraksi hingga 20 persen pada akhir tahun 2023.
Menurut laporan dari Financial Times, anjloknya produk domestik bruto (PDB) Israel ternyata jauh lebih buruk daripada yang diprediksi oleh pakar.
Pengeluaran pemerintah Israel meningkat hingga 88 persen pada periode tiga bulan setelah perang di Gaza pecah pada bulan Oktober 2023. Adapun pengeluaran nasional turun 27 persen.
Pada awal bulan Februari lalu sebuah perusahaan analisis keuangan asal Amerika Serikat (AS) bernama Moody mengurangi credit rating Israel.
Credit rating atau peringkat kredit adalah penilaian yang menggambarkan kemampuan individu, perusahaan, atau negara dalam memenuhi kewajibannya secara tepat waktu.
Credit rating Israel turun dari A1 menjadi A2 karena adanya kekhawatiran akan meluasnya perang di Gaza.
Perang yang dikobarkan Israel di Gaza juga memicu kampanye boikot besar-besaran yang menargetkan perusahaan Israel dan perusahaan yang mengungkapkan dukunagnnya kepada negara Zionis itu.
Dua jaringan waralaba makanan dan minuman asal AS, Starbucks dan McDonalds, menjadi target utama dalam kampanye boikot itu.
Baca juga: Serangan Roket Hizbullah Picu Kebakaran di Israel Utara, Pemimpin Oposisi Israel Kecam Netanyahu
Sejak perang di Gaza meletus, Starbucks kehilangan miliar dolar dan terpaksa mengurangi perkiraan penjualan tahunannya.
Starbucks sendiri sudah mengakui bahwa penjualannya di Asia Barat telah menurut. Di samping itu, adanya dukungan kepada Palestina juga berdampak terhadap penjualan Starbucks di AS.
Adapun McDonalds mengaku tak bisa mencapai target penjualannya untuk pertama kalinya selama 4 tahun belakangan. Nilai saham McDonalds juga menurun hingga 4 persen karena penjualan turun.
(Tribunnews/Febri)