TRIBUNNEWS.COM - Mahkamah Agung Israel mewajibkan pria ultra-Ortodoks untuk dinas militer.
Keputusan ini diumumkan pada hari Selasa (25/6/2024) kemarin.
Berdasarkan perjanjian yang sudah ada sejak lama, siswa seminari Yahudi atau pria ultra-Ortodoks telah dikecualikan dari wajib militer.
Namun, pengadilan menemukan bahwa negara melakukan “penegakan selektif yang tidak valid”.
Dengan kebijakan yang baru saja dibuat, sejumlah pihak khawatir akan menganggu stabilitas yang sudah ada.
Pengadilan mengatakan bahwa karena tidak adanya undang-undang yang membedakan antara siswa seminari Yahudi dan wajib militer lainnya, sistem wajib militer Israel juga berlaku untuk pria ultra-Ortodoks seperti warga negara lainnya.
"Hal ini merupakan pelanggaran serius terhadap supremasi hukum, dan prinsip yang menyatakan bahwa semua individu mempunyai kedudukan yang sama di depan hukum,” bunyi putusan tersebut.
“Pada puncak perang yang sulit, beban kesenjangan menjadi semakin akut,” lanjutnya.
Pengadilan tidak mengatakan berapa banyak pria ultra-Ortodoks yang harus direkrut.
Pengecualian terhadap laki-laki ultra-Ortodoks telah lama menjadi sumber kemarahan di kalangan masyarakat sekuler.
Kesenjangan ini semakin melebar selama perang delapan bulan di Gaza.
Baca juga: 7 Hal yang Perlu Diketahui soal Wajib Militer Yahudi Ultra-Ortodoks, Berita Buruk Bagi Netanyahu?
Militer telah memanggil puluhan ribu tentara dan mengatakan mereka membutuhkan semua tenaga yang bisa diperoleh.
Korban terus meningkat, dengan jumlah tentara yang dilaporkan tewas melebihi 600 orang.
Akan tetapi, meskipun menyerukan agar perang diperluas, partai-partai ultra-Ortodoks yang kuat secara politik dan merupakan mitra utama dalam koalisi pemerintahan Netanyahu menentang perubahan apa pun dalam sistem saat ini.