TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Laporan terbaru dari Smoke Free Sweden (SFS) yang mengangkat Selandia Baru sebagai studi kasus menunjukkan bahwa legalisasi dan dukungan pemerintah terhadap vape sebagai alat bantu berhenti merokok telah mempercepat penurunan tingkat merokok di Selandia Baru.
Menurut laporan yang dibuat oleh panel pakar internasional yang dipimpin oleh pakar kesehatan masyarakat Dr. Marewa Glover dari Selandia Baru, dalam lima tahun terakhir, angka merokok harian di Selandia Baru turun dari 13,3 persen pada tahun 2018 menjadi 6,8% pada tahun 2023.
Penurunan ini terutama terlihat di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah dan komunitas Māori, yang sebelumnya memiliki tingkat merokok tertinggi.
"Pengalaman Selandia Baru menunjukkan bahwa dengan adanya akses terhadap alternatif yang lebih aman, masyarakat dapat dan memang berhenti merokok dalam jumlah besar. Keberhasilan ini, seperti di Swedia, didorong oleh kombinasi inisiatif yang dipimpin pemerintah dan dukungan masyarakat, bukan perang ideologi melawan nikotin," kata Dr. Marewa Glover pada acara yang diselenggarakan oleh Quit Like Sweden di Warsaw, Polandia (12/6/2024).
Pendiri Gerakan Quit Like Sweden, Suely Castro, juga memuji kemajuan ini dan mendorong negara-negara lain untuk mengikuti model pengurangan risiko yang terbukti berhasil ini.
Mereka menambahkan, "Penurunan pesat angka merokok di Selandia Baru membuktikan bahwa model Swedia bukanlah pengecualian. Model ini berhasil dan bekerja dengan sangat baik. Kami sangat senang melihat hasil yang luar biasa ini dan akan terus memperjuangkan pendekatan ini, menunjukkan bahwa strategi pengurangan dampak buruk dapat berhasil di mana pun."
Mengatasi Ketergantungan dengan Alternatif Yang Lebih Aman
Dalam rangka Hari Anti Narkotika Sedunia, penurunan tingkat merokok di Selandia Baru menjadi contoh inspiratif bagaimana kebijakan yang mendukung pengurangan risiko dapat efektif dalam menangani masalah ketergantungan.
Dengan mempromosikan alternatif nikotin yang lebih aman, Selandia Baru dan Swedia tidak hanya mengurangi angka prevalensi merokok tetapi juga membantu masyarakat yang rentan untuk hidup lebih sehat.
Penelitian dari Public Health England tahun 2022 yang menunjukkan bahwa vape memiliki risiko lebih rendah daripada rokok konvensional.
Temuan ini menunjukkan bahwa vape memiliki potensi untuk menjadi alternatif bagi orang yang ingin berhenti merokok jika dibarengi dengan dukungan pemerintah untuk menyediakan aturan yang tepat sasaran bagi produk alternatif rendah risiko.
Dari data yang diolah dari WHO 2023 Tobacco Country Reports, Kementerian Kesehatan Swedia, Kementerian Kesehatan Selandia Baru, kedua negara tersebut berhasil mengurangi prevalensi merokok.
Baca juga: KPAI Usulkan yang Bisa Akses Rokok dan Vape di Atas 21 Tahun
Keberhasilan ini menunjukkan efektivitas upaya kedua negara dalam mengatasi masalah rokok dengan menggunakan vape sebagai alternatif untuk membantu orang berhenti merokok.
Secara garis besar, penurunan yang terjadi secara signifikan di Selandia Baru ini menunjukkan bahwa dengan dukungan kebijakan yang tepat dan akses terhadap produk yang lebih aman, tantangan kesehatan masyarakat yang kompleks seperti ketergantungan nikotin dapat diatasi secara efektif.
Langkah ini memberikan pelajaran berharga bagi negara-negara lain yang ingin mengurangi tingkat merokok dan meningkatkan kesehatan masyarakat secara luas.
KPAI Usulkan yang Bisa Akses Rokok dan Vape di Atas 21 Tahun
Wakil Ketua Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) Jasra Putra mengusulkan agar akses terhadap rokok dan vape dibatasi di atas 21 tahun.
"KPAI juga mengusulkan agar yang bisa mengakses rokok dan vape adalah di atas 21 tahun dari awalnya 18 tahun," katanya di Jakarta belum lama ini.
Dikatakannya, otak depan dan tumbuh kembang anak mulai mengalami kematangan di usia 21 tahun.
"Kami berharap industri rokok dan vape tidak menargetkan anak di bawah umur. Industri harus bertanggung jawab dan patuh agar tidak mudah diakses pada lingkungan sekolah, rumah dan harganya murah," ucap Jasra.
"Industri tak akan bangkrut tanpa melibatkan anak, konsumen yang lain banyak. Kami berharap industri bisa menjauhkan produk dari anak," pungkas Jasra.
KPAI juga mendorong kesadaran dari industri memicu gerakan yang peduli terhadap kesejahteraan anak di bawah umur.
Mereka mengajak industri bertanggung jawab karena banyak korban anak agar bisa direhab kembali ke gaya hidup yang lebih sehat.
Menanggapi isu yang tengah hangat serta pernyataan dari KPAI, Andrew Koh, Head of Global Branding Airscream mendukung upaya pemerintah dalam mencegah penggunaan vape pada anak di bawah umur bahkan kepada orang dewasa sekalipun untuk tidak merokok.
"Kami secara proaktif bekerja sama dengan lembaga kepatuhan global untuk memastikan bahwa produk-produknya sepenuhnya mematuhi hukum yang mengatur perdagangan rokok elektrik di berbagai pasar," katanya.
Ia juga mengajak semua pihak terkait, terutama pelaku industri untuk lebih memperhatikan pengendalian rokok elektrik di kalangan anak-anak dan remaja.
Baca juga: Riset: Vape Berpotensi Tingkatkan Risiko Kanker Paru-paru
“Kami berharap penggunaan rokok elektrik di kalangan anak-anak dan remaja dapat diberantas dan hanya diakses oleh pengguna dewasa,” katanya.