TRIBUNNEWS.COM – Pemerintahan Israel dibawah kepemimpinan Benyamin Netanyahu merilis kebijakan baru yang mewajibkan generasi muda Israel untuk mengikuti wajib militer selama 36 bulan atau 3 tahun.
Keputusan tersebut kemungkinan akan dilempar ke sidang kabinet keseluruhan untuk ditentukan melalui pemungutan suara pada Minggu, mendatang.
Adapun aturan tersebut berubah dari kebijakan awal, dimana laki-laki Israel hanya diwajibkan mengikuti wamil 32 bulan.
Namun imbas perang Gaza yang tak kunjung rampung membuat Israel kini terancam mengalami krisis pasukan.
Hal ini semakin diperparah dengan munculnya perang baru antara pasukan pertahanan Israel (IDF) dengan militan Hizbullah Lebanon.
Serangkaian masalah ini yang membuat komandan militer Israel mengeluhkan perlunya tentara tambahan dalam perang di Jalur Gaza.
Termasuk Menteri Pertahanan Yoav Gallant yang terus menekankan perlunya lebih banyak tentara dalam beberapa pekan terakhir, sebagaimana dikutip dari Al Mayadeen.
Warga Ultra-Ortodoks Diminta Turun ke Medan Perang
Tak hanya pemuda Israel yang diwajibkan mengikuti Wamil di medan perang Gaza.
Perdana Menteri (PM) Benyamin Netanyahu juga memerintahkan warga Israel dari kelompok Yahudi ultra-ortodoks untuk ikut bergabung dengan pasukan militer ke medan perang.
“Kami berencana untuk mewajibkan orang-orang ultra-ortodoks bergabung di IDF (militer Israel) dan pegawai sipil nasional. Kami juga tengah melakukan cara untuk mengenai rencana itu," ujar Netanyahu seperti dikutip dari Reuters.
Baca juga: Tentara Israel Mandi Peluru di Tal Al-Hawa, Perwira Komando Operasi Khusus Unit Maglan IDF Tewas
Pasca kebijakan itu dirilis, warga Israel ultra-ortodoks kompak menolak putusan tersebut.
Dalam tuntunya ribuan orang itu menentang usulan parlemen Netanyahu yang mewajibkan pelajar seminari Yahudi ultra-Ortodoks bergabung dalam perekrutan militer Israel.
Akibat penolakan tersebut, Kediaman Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu dan keluarganya yang berada di ibu kota Tel Aviv di teror dengan menggunakan granat.
Kendati mendapat kritikan pedas, Netanyahu teguh akan memberlakukan kebijakan baru tersebut.
Selain untuk mempertahankan kekuatan militer di Gaza, Netanyahu berdalih wajib militer dilakukan agar warga ultra-ortodoks bisa merasakan beban tugas militer yang sama dengan rakyat Israel lainnya.
Militer Israel Kompak Resign
Militer Israel tengah menghadapi tantangan signifikan tahun ini.
Setidaknya ada 900 perwira kapten dan pangkat utama Pasukan IDF yang meminta berhenti dari kesatuan militer.
Selain melakukan resign massal, para tentara cadangan dari batalion perang juga menolak perintah Perdana Menteri Netanyahu Benyamin untuk melanjutkan invasi melawan Hamas di jalur Gaza.
Tak sampai disitu, sejumlah pasukan dilaporkan kabur dari batalyon demi terhindar dari tugas perang melawan Hamas di jalur Gaza. Akibat masalah ini brigade baru Israel terancam bubar.
Baru-baru ini sejumlah petinggi militer Israel kompak melakukan pengunduran diri atau resign massal dari kursi jabatannya.
Surat kabar Israel Yedioth Ahronoth mengungkapkan bahwa komandan Komando Pusat pasukan pendudukan Israel, Mayor Jenderal Yehuda Fox akan mengundurkan diri pada Agustus mendatang.
Pengunduran diri atau resign massal kabarnya juga turut dilakukan para pemimpin Israel lainnya.
Diantaranya Kepala Staf Angkatan Bersenjata israel, Herzi Halevy dan wakilnya, Amir Baram. Disusul komandan Divisi Gaza, Avi Rosenfeld, serta komandan Distrik Selatan, Yaron Finkelman.
Tak sampai disitu kepala intelijen militer pada Angkatan Bersenjata Israel (IDF), Aharon Haliva turut mengumumkan pamit dari kursi jabatannya.
Tidak dijelaskan secara rinci alasan dari pengunduran diri massal ini , namun menurut informasi yang beredar Bos IDF resign lantaran tak tak kuasa menahan beban perang yang telah merenggut 1.200 nyawa warga Israel serta 250 orang lainnya dinyatakan sebagai sandera perang.
Senada dengan Bos IDF, para petinggi Israel lainnya juga menjelaskan pengunduran diri dilakukan lantaran mereka sangat terpukul karena gagal menangkis serangan Hamas pada 7 Oktober silam.
(Tribunnews.com/ Namira Yunia)