Sejumlah alasan yang dikatakan Kresno tidak dapat dibenarkan, kata Erry Riyana Hardjapamungkas. Erry merupakan Ketua Pelaksana Tim Nasional Pengalihan Bisnis TNI yang dibentuk pemerintah tahun 2009.
Tim yang dipimpin oleh Erry melaksanakan perintah pasal 76 UU TNI, bahwa pemerintah harus mengambil alih seluruh aktivitas bisnis yang dimiliki dan dikelola oleh TNI.
“Kalau istri tentara buka warung, itu tidak masalah. Tapi kalau tentaranya punya pekerjaan sampingan jual-beli mobil, misalnya, itu tidak boleh,” kata Erry via telepon.
”Saya tidak setuju sama sekali dengan usulan pencabutan larangan berbisnis. Itu melanggar nilai-nilai reformasi yang diperjuangkan pada masa penyusunan UU TNI,” ujar Erry.
Pasal 2 UU TNI yang saat ini berlaku mendefinisikan empat jati diri TNI, salah satunya adalah tentara yang profesional.
Jati diri itu dimaknai, antara lain sebagai ”tentara tidak berbisnis, dijamin kesejahteraannya, dan mengikuti kebijakan politik negara yang menganut prinsip demokrasi”.
Erry berkata, pada masa penyusunan UU TNI dan pengambilalihan bisnis milik tentara sekitar tahun 2004, Yusuf Anwar yang kala itu menjabat Menteri Keuangan menyebut pemerintah bertekad meningkatkan penghasilan tentara, asalkan TNI dilepaskan dari aktivitas ekonomi.
”Semua setuju kalau bahwa gaji prajurit harus cukup, makannya cukup, dan gizinya bagus. Bagaimana mereka bisa latihan bagus kalau gizinya tidak bagus,” kata Erry mengingat perdebatan pada masa itu.
”Semua setuju sekolah dan kesehatan anak-anak prajurit dijamin. Itu perlu kita bicarakan. Jangan cari bisnis. Bisnis kan bukan keahliannya tentara,” ujar Erry.
Tidak hanya berlaku untuk prajurit, perwira menengah dan tinggi TNI pun terikat pada larangan berbisnis. Setidaknya pernah ditekankan pada tahun 2011 oleh Purnomo Yusgiantoro, yang ketika itu menjabat Menteri Pertahanan.
”TNI aktif tidak boleh berbisnis,” ujarnya.
Purnomo mengeluarkan pernyataan itu terkait Marsekal Madya Rio Mendung Thalieb yang ketika itu berstatus Komisaris Utama di PT Sarwahita Group Management.
Walau begitu, larangan tersebut dimaknai berbeda oleh Panglima TNI saat itu, Laksamana Agus Suhartono.