TRIBUNNEWS.COM - Menyusul terbunuhnya Kepala Biro Politik Hamas, Ismail Haniyeh, masa depan perundingan gencatan senjata perang di Gaza menjadi penuh tanya.
Qatar dan Mesir, yang merupakan pemain kunci dalam negosiasi gencatan senjata pun bingung.
"Pembunuhan politik dan terus berlanjutnya penargetan warga sipil di Gaza ketika perundingan masih berjalan, membuat kita bertanya, bagaimana mediasi dapat berhasil jika satu pihak membunuh negosiator di pihak lain," tulis Perdana Menteri Qatar, Sheikh Mohammed bin Abdulrahman Al Thani di X.
“Perdamaian membutuhkan mitra yang serius dan sikap global terhadap pengabaian terhadap kehidupan manusia.”
Menurut Kementerian Luar Negeri Mesir, "eskalasi berbahaya Israel" dalam dua hari terakhir telah merusak upaya untuk mengakhiri pertempuran di Gaza, yang menewaskan hampir 40.000 warga Palestina.
"Kebetulan eskalasi regional ini dengan kurangnya kemajuan dalam negosiasi gencatan senjata di Gaza meningkatkan kompleksitas situasi dan menunjukkan tidak adanya kemauan politik Israel untuk menenangkannya," kata pernyataan Kementerian Luar Negeri Mesir.
“Hal ini melemahkan upaya keras yang dilakukan oleh Mesir dan mitranya untuk menghentikan perang di Jalur Gaza dan mengakhiri penderitaan manusia di Palestina.”
Qatar, Mesir, dan AS telah berulang kali berupaya mencapai gencatan senjata dalam perang di Gaza.
Namun, kesepakatan akhir untuk menghentikan perang dan membebaskan tawanan yang ditahan di Gaza, serta tahanan Palestina yang ditahan oleh Israel, menjadi rumit dan tidak ada tanda-tanda kemajuan pada putaran terakhir pembicaraan di Roma pada hari Minggu.
"Kesepakatan akhir untuk menghentikan perang selama hampir 10 bulan dan membebaskan sandera Israel dan tahanan Palestina telah menjadi rumit oleh perubahan yang diminta oleh Israel," sumber mengatakan kepada Reuters.
Ismail Haniyeh terbunuh di Teheran bersama ajudannya di kediamannya pada Rabu (31/7/2024) kemarin.
Baca juga: Penghormatan Terakhir Iran kepada Ismail Haniyeh dalam Upacara Kematian Selayaknya Ebrahim Raisi
Kata analis
Analis politik, Nour Odeh mengatakan kepada Al Jazeera bahwa akan sangat sulit bagi pembicaraan gencatan senjata untuk mendapat perhatian pada titik ini.
"Mungkin tidak akan ada perubahan dramatis dalam dinamika di lapangan di Gaza terkait pertempuran, tetapi yang pasti prospek gencatan senjata yang sangat dibutuhkan … lebih jauh dari sebelumnya," katanya.
Di Deir el-Balah, di Gaza tengah, warga Palestina yang berduka atas terbunuhnya Haniyeh menyampaikan sentimen serupa.
“Pria ini (Haniyeh) bisa saja menandatangani perjanjian pertukaran tahanan dengan Israel,” kata Saleh al-Shannar, yang mengungsi dari rumahnya di Gaza utara, kepada The Associated Press.
“Mengapa mereka membunuhnya? Mereka membunuh perdamaian, bukan Ismail Haniyeh," ucapnya.
Nour Abu Salam, seorang perempuan pengungsi, mengatakan pembunuhan itu menunjukkan bahwa Israel tidak ingin mengakhiri perang dan menciptakan perdamaian di wilayah tersebut.
“Dengan membunuh Haniyeh, mereka menghancurkan segalanya,” katanya.
Pentingnya gencatan senjata Gaza
Setelah terbunuhnya pemimpin Hamas, Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken mengatakan gencatan senjata Gaza sangat penting untuk mencegah konflik menyebar ke seluruh wilayah.
"Kami telah bekerja sejak hari pertama bukan hanya untuk mencoba mencapai tempat yang lebih baik di Gaza, tetapi juga untuk mencegah konflik menyebar, baik itu di utara dengan Lebanon dan Hizbullah, baik itu di Laut Merah dengan Houthi, baik itu Iran, Suriah, Irak, sebut saja," kata Blinken dalam sebuah forum di Singapura.
“Kunci utama untuk memastikan hal itu tidak terjadi, dan kita dapat bergerak ke tempat yang lebih baik, adalah mencapai gencatan senjata.”
Sementara itu, pejabat Israel, yang belum mengomentari pembunuhan Haniyeh, mengatakan bahwa pembicaraan gencatan senjata akan dilanjutkan.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)