TRIBUNNEWS.COM – Israel dilanda gelombang unjuk rasa besar-besaran yang digelar oleh warganya belakangan ini.
Diperkirakan sudah ada 750.000 warga Israel yang ikut turun ke jalan untuk mengkritik pemerintahan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu.
Para pengunjuk rasa meminta Netanyahu segera menyetujui kesepakatan pembebasan warga Israel yang disandera Hamas di Jalur Gaza.
Gelombang protes itu muncul setelah Pasukan Pertahanan Israel (IDF) mengumumkan penemuan jasad enam warga Israel di sebuah terowongan di Gaza.
Keluarga sandera menyalahkan Netanyahu atas peristiwa itu. Mereka mengecam pemerintah Israel yang gagal mengamankan kesepakatan pembebasan sandera.
Al Jazeera melaporkan masih ada lebih dari 100 sandera yang ditahan di Gaza. Akan tetapi, militer Israel meyakini sepertiganya telah meninggal.
Pada November 2023, ada 105 sandera yang dibebaskan. Mereka ditukar dengan 240 Palestina yang ditahan di penjara Israel.
Pihak penyelenggara unjuk rasa menyebut ada 500.000 orang ikut melancarkan aksi protes di ibu kota Israel, Tel Aviv. Adapun sebanyak 250.000 orang lainya bergabung dalam unjuk rasa di kota-kota lain.
Hamdah Salhut, wartawan Al Jazeera, mengatakan para pengunjuk rasa akan terus melakukan demonstrasi hingga pemerintah Israel bersedia memenuhi keinginan mereka.
"Unjuk rasa secara terus-terusan selamat seminggu terakhir memperlihatkan jumlah kerumunan yang belum terjadi sebelumnya, tetapi Netanyahu bersikeras bahwa tekanan militer masih menjadi cara utama untuk memulangkan para sandera," ujar Salhut.
Danielle Aloni, seorang sandera yang telah dibebaskan, turut serta dalam unjuk rasa di ibu kota Israel pada Sabtu (7/9/2024) kemarin. Dia mengkritik Netanyahu yang masih gagal membebaskan semua sandera.
Baca juga: Hasil Otopsi: Aktivis Turki-Amerika Aysenur Ezgi Eygi Tewas oleh Tembakan Sniper Israel ke Kepala
"Tuan Perdana Menteri, beberapa hari lalu, berada di depan para keluarga sandera dan berkata, ‘Maaf kami tidak bisa memulangkan mereka hidup-hidup.’ Tetapi permintaan maaf seperti apa itu jika Anda tidak ingin mengubah cara Anda?" kata Aloni.
"Kami tidak akan memaafkan."
Libby Lenkinski dari New Israel Fund berujar, meningkatnya jumlah pengunjuk rasa telah menunjukkan gencatan senjata permanen adalah satu-satunya cara yang bisa ditempuh.
Data dari Armed Conflict Location dan Event Data Project (ACLED) menunjukkan, kira-kira ada 113 aksi unjuk rasa di seluruh Israel per bulan sejak perang Gaza meletus tahun lalu.
"Ada kelompok pengunjuk rasa yang meminta gencatan senjata seawal bulan November dan Desember [tahun lalu], dan saya pikir jumlahnya meningkat secara stabil," kata Lenkinski.
Menurut dia, jumlah pengunjuk rasa telah meningkat drastis dalam sepekan terakhir. Kata dia, makin banyak warga Israel yang merasa bahwa gencatan senjata adalah satu-satunya cara memulangkan sandera.
"Anda melihat peningkatan jumlah warga Israel yang ingin mengakhiri perang ini, entah mereka di jalan atau tidak."
Media-media Israel melaporkan adanya bentrokan antara polisi dan pengunjuk rasa di beberapa area. Beberapa demonstran ditangkap.
Channel 12 menyebut aksi protes di Israel belakangan ini sebagai yang terbesar sejak perang meletus pada bulan Oktober 2023.
Baca juga: Di Tengah Vaksinasi Polio di Gaza, Israel Lakukan Serangan Membabi Buta, 61 Orang Tewas dalam 48 Jam
"Mungkin yang terbesar dalam dua tahun belakangan," kata Channel 12.
Para pengunjuk rasa turut menggelar demonstrasi di depan gedung Kementerian Keamanan Israel.
Di Tel Aviv, pengunjuk rasa menghalangi arus lalu lintas di Jalan Raya Ayalon dan membakar ban di Jalan Begin.
Sementara itu, aksi unjuk rasa di Kota Haifa diserbu oleh aparat kepolisian. Dilaporkan beberapa demonstran yang terluka.
Di sisi lain, Hamas kembali merilis video yang ditujukan kepada Netanyahu.
"Pesan video selanjutnya, apakah pembebasan sandera melalui kesepakatan? Atau kematian karena pengeboman Israel?" kata Hamas.
Video itu memperlihatkan sandera yang tewas di Gaza.
(Tribunnews/Febri)