Dia menyinggung tentang kematian komandan Batalyon Jenin di Brigade Al-Quds di Tulkarem, Muhammad Jaber “Abu Shuja,”.
"Dia adalah simbol dari generasi baru “pemimpin bersenjata di Tepi Barat, dan dia menangkap imajinasi beberapa pemuda Palestina sebelumnya, setelah berita pembunuhannya menyebar,” kata Aviad menyiratkan kalau kemartiran Abu Shuja justru menginspirasi pemuda lain Palestina untuk angkat senjata dan melawan.
Surat kabar itu mengatakan: Bahkan sebelum agresi terhadap Gaza, Tepi Barat sudah berada dalam kekacauan dengan meningkatnya serangan militer dan serangan kekerasan terhadap warga Palestina oleh pemukim, dan “perang di Gaza semakin memperburuk situasi di Tepi Barat,” ujarnya.
622 Warga Palestina Gugur Sejak 7 Oktober, Pemukim Lakukan 1.200 Serangan
Kelompok hak asasi manusia menuduh unit tertentu tentara Israel melakukan pelanggaran terhadap warga Palestina di Tepi Barat, termasuk unit tentara ekstremis yang berada di bawah pengawasan setelah kematian seorang pria lanjut usia Palestina-Amerika yang ditahan oleh tentara pada tahun 2022.
Investigasi militer Israel menggambarkan insiden itu sebagai kegagalan moral di pihak tentara, yang tergabung dalam Batalyon Netzah Yehuda.
“Kami telah melihat warga Palestina di Tepi Barat harus bersikap defensif,” kata Tahani Mustafa, analis senior Palestina di International Crisis Group, sebuah organisasi resolusi konflik yang berbasis di Brussels masalah keamanan pribadi pada saat ini, apakah itu terhadap tentara atau pemukim Israel yang ekstremis.”
Setidaknya 17 warga Palestina tewas sejak “Israel melancarkan operasi Tepi Barat awal pekan ini di Tepi Barat.”
Penduduk Palestina di Tulkarem mengatakan, "Mereka secara efektif terjebak di rumah mereka sejak dimulainya operasi Israel pada Selasa malam. Karena takut turun ke jalan karena apa yang mereka katakan sebagai pengeboman yang kejam."
Firas Khalifa (48 tahun), yang tinggal di kamp pengungsi Nour Shams di Tulkarem, mengatakan: “Infrastruktur hancur, internet hampir tidak berfungsi. Beberapa orang menelepon Bulan Sabit Merah untuk mengevakuasi mereka, namun tentara Israel tidak mengizinkan mereka untuk lulus.”
Tentara Israel membantah kalau mereka membatasi akses medis dan mengatakan: Ini memfasilitasi pergerakan ambulans dan mengurangi kerusakan infrastruktur sipil.
Analis militer mengatakan, “Operasi saat ini menimbulkan risiko strategis bagi Israel, karena angkatan bersenjatanya berada di bawah tekanan akibat pertempuran selama hampir 11 bulan di Gaza dan meningkatnya konflik dengan Hizbullah, dan tentara sangat bergantung pada tentara cadangan paruh waktu yang mengatakan mereka kelelahan akibat perang terpanjang yang dilakukan Israel selama beberapa dekade.”
Shlomo Mofaz, mantan pejabat senior intelijen militer Israel, mengatakan: Operasi di Tepi Barat melibatkan ratusan tentara, termasuk pasukan yang dipindahkan ke lapangan dari kursus pelatihan dan pasukan cadangan sebagai bala bantuan.
Dia menambahkan: “Tentara perlu belajar bagaimana menyebar di beberapa arena. Mereka tidak punya pilihan.”
Pihak Israel tidak mengungkapkan tingkat kekuatan dalam operasinya di Tepi Barat, namun mengatakan: Brigade regional serta insinyur tempur ikut serta, dan tidak ada perkiraan kapan operasi akan berakhir.
Tenggelam di Lumpur Gaza
Terkait situasi di front lain, Gaza, analis Israel Avi Ashkenazi mengatakan pasukan zionis Israel (IDF) berada di ambang 'tenggelam dalam lumpur Gaza'.
"Pada bulan Agustus yang kelam ini, 15 tentara Israel tewas dalam pertempuran di Gaza dan utara (front Lebanon). Ini adalah harga yang harus dibayar untuk perang yang melelahkan," demikian pernyataan laporan Avi Ashkenazi.
Ashkenazi juga mencatat bulan Agustus 2024 akan dikenang sebagai salah satu bulan paling berdarah bagi IDF.
Ashkenazi yang juga merupakan jurnalis Israel tersebut memberikan kritik pada kegigihan Israel untuk mempertahankan Koridor Philadelphia dan poros Netzarim, yang masih menjadi pokok perdebatan utama dalam negosiasi yang sedang berlangsung.
Ini terjadi satu hari sebelum keputusan resmi kabinet Israel untuk mempertahankan kendali atas jalur tanah sepanjang 14 kilometer yang memisahkan Gaza dari Mesir.
“Setiap keputusan keamanan harus dibayar dengan darah,” lanjut Ashkenazi.
“Sebelum kita terjerumus ke dalam lumpur, mari kita berhenti sejenak,” analis Israel itu memperingatkan negaranya, mengutip Palestine Chronicle, Sabtu (31/8/2024).
Seraya menambahkan, ia mendorong para pemimpin Israel untuk mempertimbangkan alternatif keamanan untuk mengakhiri negosiasi, membebaskan para sandera, dan menghentikan tembakan terhadap warga sipil.
Perkataan Ashkenazi menggemakan sentimen yang telah diungkapkan oleh pensiunan Jenderal Israel Yitzhak Brick dalam sebuah artikel yang diterbitkan di surat kabar Israel Haaretz pada tanggal 22 Agustus 2024 lalu.
Brick menyatakan situasinya mengerikan, Israel bisa menghadapi keruntuhan dalam waktu satu tahun jika perang gesekan yang sedang berlangsung terhadap gerakan Palestina Hamas dan Hizbullah Lebanon terus berlanjut.
Setelah pendudukan Kota Gaza, Menteri Pertahanan Israel Yoav Gallant mengatakan bahwa Israel telah menguasai penuh kota dan terowongannya, dan dalam waktu singkat, Hamas akan menyerah.
Baca juga: Mengenal Strategisnya Jenin yang Dikepung IDF, Israel Aji Mumpung Jelang Jeda Perang 3 Hari
"Dengan pernyataan ini, Gallant, bersama dengan rekan-rekannya Kepala Staf IDF Herzi Halevi dan Perdana Menteri Benjamin Netanyahu, telah membuat publik Israel kehilangan muka,” tulis mantan jenderal Israel tersebut.
“Israel semakin terjerumus ke dalam lumpur Gaza, kehilangan semakin banyak tentara karena terbunuh atau terluka, tanpa ada peluang untuk mencapai tujuan utama perang: menjatuhkan Hamas.”
Mantan jenderal Israel itu lebih lanjut memperingatkan semua strategi politik dan militer saat ini membawa Israel menuju bencana.
"Negara ini benar-benar sedang menuju jurang kehancuran. Jika perang melawan Hamas dan Hizbullah terus berlanjut, Israel akan runtuh dalam waktu tidak lebih dari setahun," ia memperingatkan.
Semakin Banyak IDF Tewas dan Terluka
Menurut data resmi Israel, yang tunduk pada sensor militer, lebih dari 703 perwira dan tentara Israel telah terbunuh sejak 7 Oktober 2023.
Namun, ada tuduhan internal, militer Israel menyembunyikan jumlah tenteara yang tewas sebelumnya, hingga soal kerugian yang diyakini jauh lebih tinggi.
Juli lalu, Saluran 12 Israel mengungkapkan 20.000 tentara pendudukan telah terluka di Gaza sejak 7 Oktober, dengan 8.298 korban lainnya mengalami cacat.
Pada tanggal 12 Juli, kabinet Israel menyetujui keputusan untuk memperpanjang wajib militer menjadi tiga tahun karena kekurangan personel.
Keputusan ini akan disampaikan kepada pemerintah untuk disetujui dan kemudian dibawa ke Knesset (parlemen) untuk diundangkan.
(oln/khbrn/*)