Warga London, ibu kota Inggris, yang berjalan dari stasiun bawah tanah menuju lapangan sepak bola Powerleague di Shoreditch, akan melewati kamar tidur darurat di bawah jembatan kereta api: kasur basah, peti kayu kosong, dan potongan karton berserakan.
Ini adalah salah satu dari banyak sekali jejak para tuna wisma jalanan di pusat keuangan salah satu kota terkaya dunia itu.
Di lapangan sepak bola kecil, sebuah tim muda sedang berlatih, dengan pelatih asal Skotlandia. Mereka semua mengenakan kemeja merah dengan tulisan "Inggris" di bagian depan. Tapi ini bukan tim finalis Piala Eropa Euro 2024, melainkan tim tuna wisma Inggris.
Di antara mereka yang bermain adalah Mikiale Tsegay, seorang pengungsi dari Etiopia. Seperti rekan satu timnya, ia terlibat melalui Street Soccer Foundation, sebuah badan amal yang membantu tim Inggris untuk turnamen tuna wisma.
Organisasi ini yang mendukung para tuna wisma melalui sepak bola. Mikiale Tsegay terpaksa meninggalkan tanah airnya pada 2021 akibat perang saudara yang brutal di negaranya, yang telah merenggut nyawa lebih dari 500.000 orang.
"Itu adalah masa yang sangat, sangat sulit dalam hidup saya. Saya tidak tahu di mana keluarga saya berada, hidup atau mati," kata Mikiale Tsegay kepada DW. "Aku kehilangan kakak lelakiku. Aku kehilangan begitu banyak temanku.”
Hotel bukan rumah
Ketika tiba di Inggris, pemerintah belum mengambil posisi tegas dalam perang di Etiopia dan akibatnya Mikiale Tsegay kesulitan untuk mengajukan permohonan suaka.
"Ketika saya memberi tahu mereka apa yang terjadi, mereka tidak mempercayai saya, itu sangat sulit. Setelah dua tahun, segalanya berubah dan saya mendapatkan perlindungan. Namun tetap saja, sangat sulit untuk tinggal di hotel dan tidak memiliki rumah. Internet mati di sana dan tidak ada cara untuk berkomunikasi," katanya.
Meskipun kata "hotel" memberikan gambaran kemewahan bagi sebagian orang, kenyataannya adalah bahwa di Inggris, orang-orang dengan posisi seperti Mikiale Tsegay sering kali harus hidup dengan tunjangan £8 sehari. Akomodasinya bahkan tidak memiliki fasilitas memasak yang paling dasar, dan ini jauh dari hotel tempat liburan seperti yang dibayangkan kebanyakan orang.
Mikiale Tsegay bukan satu-satunya pengungsi yang mewakili Inggris di Seoul akhir bulan ini. Tim tersebut juga memiliki sejumlah pemain asli Inggris yang menjadi tuna wisma karena berbagai alasan.
Tidak ada definisi internasional tentang tuna wisma, namun definisi di Inggris mencakup tidak memiliki atap (tidur di jalanan), tidak memiliki rumah (akomodasi sementara) dan tinggal di perumahan yang tidak aman atau tidak memadai.
Penelitian dari badan amal perumahan Shelter menemukan bahwa ada 309.000 orang tanpa rumah pada Natal tahun lalu di Inggris, meningkat 14% dibandingkan tahun sebelumnya.
Meningkatnya jumlah tuna wisma di negara-negara Barat yang kaya, mempunyai akar struktural dan alasan berbeda-beda untuk setiap orang. Namun bagi manajer tim tuna wisma Inggris, Craig McManus, timnya adalah tim sepak bola biasa, yang sedang bersiap bertarung di Piala Dunia Tuna wisma.
Sepak bola menjadi dorongan perubahan
Pada tahun 2015, kematian ayahnya, ditambah dengan masalah narkoba dan alkohol, menyebabkan Craig McManus kehilangan mobil, pekerjaan, dan terpaksa harus tidur di jalanan kota Edinburgh pada musim dingin.
"Saya terlibat dalam pembicaraan dengan banyak agensi, mereka melontarkan banyak pertanyaan: 'Apakah Anda sadar, apakah Anda bersih?' Lalu ada seseorang yang berkata: 'Siapa namamu sobat? Pakailah celemek ini dan datang dan bermain sepak bola,'" katanya tentang interaksi awalnya dengan Street Soccer.
"Untuk pertama kalinya setelah bertahun-tahun, saya merasa menjadi manusia lagi. Saya merasa menjadi bagian dari sesuatu. Tidak ada yang bertanya kepada saya, namun saya tahu bahwa saya dapat berbicara dengan mereka jika diperlukan, dan kami membangun kepercayaan. Dan selama itu saya berhasil mendapatkan rehabilitasi, menjadi sadar, menjadi bersih, dan keluar dengan pola pikir yang berbeda."
McManus akhirnya bermain untuk Skotlandia di kandang Piala Dunia di Glasgow pada tahun 2016 dan sekarang bekerja di tim divisi dua Middlesbrough. Dia menganggap Piala Dunia Tuna wisma sebagai titik balik baginya. "Kadang-kadang itu adalah perubahan fisik, mereka hanya berdiri dengan dada sedikit lebih membusung dan bahu ke belakang. Mungkin juga mereka jadinya lebih banyak berkomunikasi,” katanya.
Bagi sang manajer, baik turnamen piala dunia maupun sepak bola bukanlah inti dari semua ini. Ini murni berfungsi sebagai sarana untuk membawa orang-orang yang berada dalam posisi rentan ke ruang, di mana mereka dapat memperoleh bantuan, baik melalui rujukan ke layanan, mengobrol dengan Craig McManus dan pelatih lain yang telah melalui program ini, atau sekadar santai di tempat dan lingkungan yang aman serta sehat.
Motivasi dan perjalanan ke Seoul
"Hal yang sangat penting bagi kami adalah kami membangun hubungan saling percaya, sehingga mereka dapat mempercayai kami, namun kami bukanlah otoritas dalam hidup mereka. Kami bersama mereka secara berdampingan. Setelah menciptakan hal tersebut, Itulah cara kami memberdayakan mereka untuk melakukan perubahan,” kata Craig McManus.
Perubahan itu sudah dimulai dalam kehidupan Mikiale Tsegay. Meskipun situasi kehidupannya masih genting, dia keluar dari hotel dan menjalani uji coba di klub semi-profesional di sekitar London.
"Yang kami inginkan adalah melakukan sesuatu yang istimewa,” kata Mikiale Tsegay. "Kami ingin pergi ke sana (Seoul) dan menunjukkan pada diri sendiri bahwa Anda bisa bermain di klub mana pun, banyak sekali pemain profesional yang muncul melalui bermain di jalanan. Saya harap kami membawa sesuatu yang istimewa untuk timnas Inggris. Mudah-mudahan football's coming home bisa terwujud," tambahnya sambil tersenyum.
Piala Dunia Tuna wisma akan diadakan di Seoul, Korea Selatan, pada 21-28 September. Ini akan menjadi Piala Dunia Tuna wisma pertama di Asia dan akan menampilkan 56 tim dari 44 negara dengan 450 pemain.
Artikel ini diadaptasi dari artikel DW bahasa Inggris