Intifada ditandai mobilisasi rakyat, protes massal, pembangkangan sipil, pemogokan yang terorganisasi dengan baik, dan kerja sama komunal.
Menurut organisasi hak asasi manusia (HAM) Israelm, B'Tselem, 1.070 warga Palestina dibunuh oleh pasukan Zionis selama Intifada, termasuk 237 anak-anak. Sementara, lebih dari 175.000 warga Palestina ditangkap.
Palestina-Israel Tandatangani Perjanjian Oslo
Pada 1993, Pemimpin Palestina, Yasser Arafat, dan Perdana Menteri Israel, Yitzhak Rabin, menandatangani Perjanjian Oslo.
Perjanjian itu dibuat untuk mencapai perdamaian dalam waktu lima tahun. Momen itu menjadi pertama kalinya bagi Palestina dan Israel saling mengakui satu sama lain.
Perjanjian kedua yang dibuat pada 1995, membagi wilayah Tepi Barat yang diduduki menjadi tiga bagian, yaitu Area A, B, dan C.
Otoritas Palestina yang dibentuk setelah Perjanjian Oslo, hanya diberi kekuasaan terbatas atas 18 persen Tepi Barat karena Israel secara efektif terus mengendalikan wilayah tersebut.
Tapi, Perjanjian Oslo perlahan-lahan runtuh karena pemukiman Israel, komunitas Yahudi yang dibangun di Tepi Barat - kebanyakan ilegal -, tumbuh secara massif.
Populasi permukiman di Tepi Barat dan Yerusalem Timur meningkat dari sekitar 250 jiwa pada 1993 dan 700 jiwa pada September 2023.
Sekitar tiga juta warga Palestina tinggal di Tepi Barat dan Yerusalem Timur.
Intifada Kedua
Intifada kedua dimulai pada 28 September 2000, saat pemimpin oposisi Israel Likud, Ariel Sharon, melakukan kunjungan provokatif ke kompleks Masjid Al-Aqsa dengan ribuan pasukan keamanan dikerahkan di dalam dan sekitar Kota Tua Yerusalem.
Sebagai informasi, Sharon kemudian menjadi Perdana Menteri Israel periode 2001-2006.
Bentrokan antara pengunjuk rasa Palestina dan pasukan Israel yang berlangsung selama dua hari itu menewaskan lima warga Palestina dan melukai 200 orang.
Insiden ini memicu pemberontakan bersenjata yang meluas.
Selama Intifada kedua, Israel menyebabkan kerusakan yang belum pernah terjadi sebelumnya terhadap perekonomian dan infrastruktur Palestina.
Israel kembali menduduki wilayah yang diperintah oleh Otoritas Palestina. Mereka memulai pembangunan tembok pemisah, yang seiring maraknya pembangunan pemukiman, menghancurkan mata pencaharian dan komunitas warga Palestina.
Pemukiman itu dianggap ilegal menurut hukum internasional.
PBB telah mengecam pemukiman itu dan menyebutnya sebagai "rintangan besar" dalam mewujudkan negara Palestina yang layak, sebagai bagian dari apa yang disebut "solusi dua negara".
Mobilitas warga Palestina menjadi sangat terbatas karena pemukiman ilegal Israel.
Sebab, sekitar 700 penghalang jalan, termasuk 140 pos pemeriksaan, tersebar di Tepi Barat.
Sekitar 70 ribu warga Palestina dengan izin kerja Israel, harus melintasi pos pemeriksaan itu dalam perjalanan harian mereka.
Perang di Jalur Gaza
Israel telah melancarkan empat serangan militer berkepanjangan di Gaza pada 2008, 2012, 2014, dan 2021.
Serangan tahun 2008 melibatkan penggunaan persenjataan yang dilarang secara internasional, seperti gas fosfor.
Pada 2014, dalam kurun waktu 50 hari, Israel membunuh lebih dari 2.100 warga Palestina, termasuk 500 anak-anak.
Selama serangan itu, yang disebut Operasi Protective Edge oleh Israel, sekitar 11.000 warga Palestina terluka, 20.000 rumah hancur, dan setengah juta orang mengungsi.
Serangan terbaru Israel berlangsung sejak 7 Oktober 2023 hingga saat ini.
Hingga saat ini, lebih dari 41.900 warga Palestina tewas akibat serangan brutal Israel.
Sementara, lebih dari 97.300 lainnya terluka dan 10.000 lainnya masih hilang, diduga tewas di bawah reruntuhan.
(Tribunnews.com/Pravitri Retno W)