Organisasi Zionis Israel Gelar Wisata Genosida: Tonton Bom yang Jatuh di Gaza, Promosikan Israel Raya
TRIBUNNEWS.COM - Sebuah organisasi Zionis Israel telah memicu kemarahan publik internasional dengan mengorganisir tur menggunakan perahu kontroversial untuk menyaksikan pemboman Gaza bagi peserta wisata yang berminat.
Dijuluki "Wisata Genosida," perjalanan ini dilaporkan melibatkan wisatawan yang menonton roket jatuh di Gaza dari jarak yang aman.
Selama tur, para peserta tur diduga membahas pembagian Gaza ke dalam koloni masa depan, mempromosikan konsep "Israel Raya."
Baca juga: Pakar Militer: Agresi Besar-besaran Israel di Tepi Barat Persis Buku A Place Under The Sun Netanyahu
Para kritikus telah mengutuk wisata ini sebagai tontonan kekerasan yang tidak manusiawi dan dukungan tak waras dari ekspansitrum teritorial yang tengah dilakukan Israel di Jalur Gaza.
Para pembela hak asasi manusia telah menyerukan penghentian segera kegiatan tersebut.
Israel melanjutkan serangan brutal di Gaza menyusul serangan lintas-perbatasan oleh kelompok pembebasan Palestina Hamas pada 7 Oktober 2023 lalu.
Meski sudah ada resolusi Dewan Keamanan PBB yang menyerukan gencatan senjata segera, Israel bersikeras melanjutkan perang hingga mencapai target 'kemenangan mutlak' di Gaza.
Lebih dari 42.000 orang telah tewas, sebagian besar wanita dan anak-anak, dan lebih dari 97.700 terluka, menurut otoritas kesehatan setempat.
Serangan Israel telah menggusur hampir seluruh penduduk Jalur Gaza di tengah blokade yang sedang berlangsung yang telah menyebabkan kekurangan makanan, air bersih dan obat-obatan yang parah.
Israel menghadapi kasus genosida di Mahkamah Internasional atas tindakannya di Gaza.
Baca juga: Emblem Seragam Tentara IDF di Gaza Gambarkan Peta Israel Raya: Dari Yordania, Saudi, hingga Mesir
Jumlah Korban Tewas di Gaza Meningkat Jadi 42.126 Jiwa
Kementerian Kesehatan Palestina melaporkan hari ini, Jumat (11/10/2024) kalau Pasukan Pendudukan Israel (IOF) melakukan empat pembantaian di Jalur Gaza, yang menyebabkan 61 orang meninggal dan 231 orang terluka selama 24 jam terakhir.
Kementerian memperingatkan bahwa masih ada sejumlah korban di bawah reruntuhan dan di jalan, dan bahwa IDF mencegah ambulans dan kru pertahanan sipil menjangkau mereka.
Diumumkan bahwa jumlah total korban tewas akibat agresi “Israel” telah meningkat menjadi 42.126 orang yang menjadi martir dan 98.117 orang yang terluka sejak 7 Oktober 2023.
Gaza Jadi Tempat Paling Mematikan bagi Jurnalis
Laporan Reporters Without Bordes (RSF) mengungkapkan Israel telah mengubah Gaza menjadi tempat paling mematikan bagi jurnalis, selama setahun genosida yang berlangsung sejak 7 Oktober 2023.
Jurnalis, dalam laporan RSF, menjadi sasaran dan dibunuh, ruang redaksi dihancurkan, internet dan listrik diputus, hingga pers asing diblokir, sejak dimulainya serangan Israel di Gaza.
Pasukan Israel telah secara sistematis menghancurkan infrastruktur media di wilayah Palestina dan melumpuhkan jurnalisme.
Sejak bom pertama jatuh di Gaza pada 7 Oktober 2023 pagi, hak atas informasi tentang apa yang terjadi di Gaza terus terkikis setiap harinya karena pemblokiran media oleh Israel.
Kantor Media Gaza mencatat jumlah jurnalis yang tewas mencapai 175 orang.
Hal ini berarti ada empat jurnalis yang tewas setiap minggunya sejak 7 Oktober 2023.
Sementara, RSF merilis ada lebih dari 130 jurnalis, hampir semuanya warga Palestina, yang tewas akibat serangan Israel.
Menurut informasi RSF, jurnalis menjadi sasaran dan dibunuh saat bekerja.
Hampir semua jurnalis di Gaza telah mengungsi beberapa kali dalam setahun terakhir.
Mereka yang dipaksa mengungsi, tak punya kemungkinan untuk kembali ke Gaza.
Sementara itu, Israel terus menutup akses ke Gaza bagi jurnalis asing.
Baca juga: 3 Tujuan Israel di Gaza Selama Satu Tahun Serangan Belum Tercapai, Hamas Masih Kokoh Tak Terkalahkan
Beberapa jurnalis asing yang diizinkan masuk, berada di bawah pengawasan ketat tentara Israel.
Penindasan Israel terhadap jurnalis di Gaza berlanjut hingga tahap kantor-kantor pers dihancurkan, jurnalis ditangkap dan disiksa, dan internet serta listrik secara berkala diputus.
Jurnalis yang berjuang meliput genosida di Gaza, serang menjadi korban kampanye propaganda Israel yang mempertanyakan integritas mereka.
Para jurnalis itu kerap dituduh bekerja sama dengan gerakan perlawanan Palestina, Hamas, atau telah berpartisipasi dalam Operasi Banjir Al-Aqsa 7 Oktober 2023.
Pelanggaran kebebasan pers yang mengejutkan ini telah ditanggapi dengan impunitas yang meluas.
Meskipun ada empat pengaduan yang diajukan RSF ke Mahkamah Pidana Internasional (ICC) atas kejahatan Israel terhadap jurnalis di Gaza, para pelaku masih belum diadili dan kejahatan terus berlanjut.
Padahal, ICC memberikan jaminan pada Januari 2024 lalu, untuk mempreoses aduan tersebut.
Meskipun otoritas Israel sering mengklaim mereka tidak menargetkan jurnalis, banyak kesaksian, penyelidikan, dan bahkan pernyataan yang diberikan oleh tentara Israel bertentangan dengan klaim ini.
"Pasukan Israel telah melakukan segala daya upaya untuk mencegah liputan tentang apa yang terjadi di Gaza, dan secara sistematis menargetkan jurnalis yang telah mengambil risiko besar untuk melakukan pekerjaan mereka," kata Direktur Kampanye RSF, Rebecca Vincent.
Terkait hal itu, Vincent pun menyerukan agar kekerasan terhadap jurnalis di Gaza harus eegra dihentikan.
"Lakukan tindakan konkret untuk mengakhiri impunitas atas serangan yang telah terjadi, dan agar akses dibuka bagi jurnalis asing tanpa penundaan," tegasnya.
Penindasan Juga Terjadi di Luar Gaza
Jurnalis di wilayah lain di Palestina, juga telah menjadi sasaran penindasan yang kejam oleh Israel, selama setahun terakhir.
Sejak 7 Oktober 2023, puluhan jurnalis di Tepi Barat telah ditahan dan masih berada di penjara Israel.
Sementara, markas besar Al-Jazeera di Ramallah ditutup oleh tentara Israel, September 2024, atas tuduhan propaganda.
Sebuah undang-undang yang disetujui oleh parlemen Israel pada November 2023, membenarkan larangan saluran Al Jazeera di Israel.
Undang-undang itu diberlakukan pada 14 Juni 2024.
Hal serupa juga menimpa media lainnya. Israel menyita kamera milik kantor berita Associated Press dan menghentikan perekaman berkelanjutannya di Gaza selama beberapa jam.
Tentara Israel menuding Associated Press akan mengirim gambar-gambar yang diambil kepada Al Jazeera.
Jurnalis Israel yang mengkritik perang di Gaza dan kebijakan pemerintah Perdana Menteri Benjamin Netanyahu juga telah menjadi korban penindasan, intimidasi, dan kekerasan polisi sejak 7 Oktober 2023.
Perang di Gaza meluas ke negara-negara di kawasan itu. Di Lebanon, tiga jurnalis dibunuh oleh tentara Israel saat bekerja, menurut informasi RSF.
Meskipun enam penyelidikan - termasuk yang dilakukan RSF - membuktikan jurnalis foto Reuters, Issam Abdallah, menjadi sasaran pasukan Israel pada 13 Oktober 2023, tidak ada otoritas yang bertanggung jawab atas kejahatan ini hingga sekarang.
Setahun kemudian, perang semakin intensif dan sekarang jurnalis Lebanon berisiko menjadi korban pembantaian juga.
Banyak dari jurnalis terpaksa mengungsi dari rumah dan tempat kerja mereka dari daerah yang semakin berbahaya.
Untuk mengantisipasi krisis, RSF membuka pusat kebebasan pers regional di Beirut pada Maret 2024, untuk membantu memperlengkapi dan melindungi jurnalis di wilayah tersebut.
(oln/anews/rntv/*)