VSMPO-Avisma memenuhi sekitar sepertiga kebutuhan titanium Boeing dan lebih dari separuh kebutuhan Airbus. Namun Boeing mengumumkan berakhirnya kerja sama dengan VSMPO-Avisma setelah dimulainya perang pada musim semi 2022. Airbus mengambil Langkah serupa pada Desember 2022.
Sebelumnya, CEO Airbus Guillaume Faury berbicara menentang sanksi, karena tindakan ini sama saja dengan sanksi terhadap perusahaannya sendiri. Mengingat proses produksi yang rumit dan ketergantungan dalam industri kedirgantaraan, hampir mustahil bagi Airbus untuk begitu saja berganti pemasok.
Pada akhirnya, perusahaan Amerika dalam kondisi tertentu masih diizinkan bekerja sama dengan VSMPO-Avisma. Sanksi Kanada terhadap perusahaan Rusia juga memberikan pengecualian, misalnya untuk produsen pesawat Bombardier dan Airbus.
"Tidak seperti UE, AS dapat lebih mudah mengurangi ketergantungan terhadap Rusia karena memiliki perusahaan yang memproses spons titanium impor," jelas Andy Home, pakar logam dan kolumnis di kantor berita Reuters. Oleh karena itu, UE semakin bergantung pada AS untuk titanium, dan ini bertentangan dengan undang-undang UE tentang bahan baku penting yang disahkan tahun 2024. Namun untuk saat ini, UE tidak punya pilihan lain.
Masa depan nikel Rusia tidak menentu
Salah satu produsen nikel terbesar di dunia, perusahaan Rusia Norilsk Nickel, juga berhasil terhindar dari sanksi untuk beberapa lama. AS dan Inggris baru memberlakukan pembatasan sekitar sebulan lalu, sementara UE masih belum memberi sanksi.
Meskipun demikian, ekspor perusahaan berubah setelah perang dimulai. Pada tahun 2021, Eropa menyumbang lebih dari 50% penjualan Norilsk Nickel asal Rusia. Sementara Amerika Utara dan Selatan menyumbang 16%, dan Asia sebesar 27%. Pada tahun 2023, pangsa Eropa turun menjadi 24%, sementara Amerika Utara dan Selatan turun menjadi 10%. Di sisi lain, pangsa Asia naik menjadi 54%.
Perubahan orientasi dari Barat ke Timur ini bukan satu-satunya tantangan bagi perusahaan Rusia. Permintaan nikel telah meningkat tajam dalam beberapa tahun terakhir karena diperlukan untuk produksi baterai lithium-ion untuk kendaraan listrik. Bersama dengan ketakutan akan sanksi, naiknya permintaan nikel telah menyebabkan fluktuasi harga.
Saat ini, harga di pasar global lebih rendah daripada sebelum Rusia menginvasi Ukraina, sebagian berkat nikel dari Indonesia, yang memiliki deposit nikel yang jauh lebih besar daripada Rusia. "Oleh karena itu, prospek Norilsk Nickel tidak jelas," kata Andy Home dari Reuters. Jadi, setidaknya untuk saat ini, Rusia tidak akan dapat menggunakan bahan baku istimewa ini sebagai senjata geopolitik yang potensial.
Diadaptasi dari artikel DW Jerman