Pemilihan Kepala Staf Angkatan Darat (KSAD) baru tentu lebih menarik perhatian publik, dibanding kepala staf yang lain, mengingat Prabowo sendiri adalah figur kuat Angkatan Darat, bahkan di masa lalu juga nyaris mencapai posisi KSAD.
Dalam hitungan kasar, dalam jangka waktu sekitar enam bulan pascapelantikan, Prabowo akan memberi kode untuk segera proses pergantian KSAD.
Fenomena kedekatan khusus antara Presiden dengan kandidat KSAD pilihannya, menjadikan pemilihan KSAD selalu diliputi misteri, karena prosesnya bersifat tertutup, mengingat proses dilakukan presiden secara mandiri.
Tak heran bila kemudian muncul anggapan, meramalkan siapa calon KSAD yang akan datang adalah pekerjaan sia-sia, mengingat penentuan jabatan tersebut merupakan hak prerogratif presiden sepenuhnya.
Namun disinilah daya tariknya, justru adanya unsur "misteri” yang menjadikan rencana pergantian KSAD menarik untuk diikuti.
Lalu siapa kira-kira KSAD (baru) pilihan Prabowo, setelah resmi dilantik sebagai Presiden nanti.
Jenderal Maruli Simanjuntak (Akmil 1992), KSAD saat ini, adalah pilihan Presiden Jokowi, yang belum tentu selaras dengan apa yang dikehendaki Prabowo.
Tampaknya Prabowo sudah menyiapkan calonnya sendiri, jika tiba saatnya Maruli untuk diganti.
Pangkostrad dan Wakil KSAD
Pada dekade akhir 1980-an, sempat ada wacana atau semacam konvensi, bahwa Wakil KSAD adalah jabatan untuk "magang” sebagai KSAD. Namun karena tidak ada regulasi yang spesifik, asumsi Wakil KSAD adalah calon KSAD berikutnya, kini sudah tidak berlaku lagi.
Tentu berbeda dengan ketentuan untuk pengisian posisi Panglima TNI, yang memberi batasan harus dijabat oleh perwira tinggi yang pernah menjabat Kepala Staf angkatan, dan itu tertuang dalam undang-undang.
Ketika Wakil KSAD bukan lagi pos "magang” untuk KSAD, salah satunya ditandai dengan pengangkatan Jenderal Hartono (Akmil 1962) sebagai KSAD pada tahun 1995. Hartono saat itu bukan Wakil KSAD, tetapi mantan Kepala Staf Sosial Politik ABRI), dan menggantikan yuniornya (Wismoyo Arismunandar, Akmil 1963), sungguh pergantian yang dianggap tidak lazim ketika itu.
Terlepas dari segala pasang-surutnya, walau bagaimanapun Wakil KSAD tetap memiliki peluang untuk dipromosikan sebagai KSAD, hanya kini harus "berkompetisi” dengan Pangkostrad. Tentu ada sisi positif dari fenomena seperti ini, sebagai sinyal agar Wakil KSAD tetap optimis dan senantiasa menjaga performanya.
Dalam 15 tahun terakhir, dari data yang tersedia, memang lebih dominan Pangkostrad yang diangkat sebagai KSAD berikutnya, ketimbang direkrut dari Wakil KSAD. Kita periksa daftar berikut ini: George Toisutta (Akmil 1976, Pangkostrad), Pramono Edhie Wibowo (Akmil 1980, Pangkostrad), Moeldoko (Akmil 1981, Wakil KSAD), Budiman (Akmil 1978, Sekjen Kemenhan), Gatot Nurmantyo (Akmil 1982, Pangkostrad), Mulyono (Akmil 1983, Pangkostrad), Andika Perkasa (Akmil 1987, Pangkostrad), Dudung Abdurrachman (Akmil 1988A, Pangkostrad), Agus Subiyanto (Akmil 1991, Wakil KSAD), dan Maruli Simanjuntak (Akmil 1992, Pangkostrad).
Ketika Pangkostrad ditetapkan menjadi jabatan berbintang tiga pada medio 1996, tampak bahwa posisi ini semakin politis, sebagai transit perwira yang memang sengaja disiapkan sebagai KSAD. Itu terlihat ketika Wiranto (Akmil 1968) diangkat sebagai Pangkostrad menggantikan Tarub (Akmil 1965), pada tahun 1996. Mulai Wiranto dan seterusnya, pangkat Pangkostrad adalah bintag tiga. Tarub memang sempat menyandang pangkat letjen, namun dalam posisi sebagai Kasum TNI (d/h Kasum ABRI).
Nilai politis dimaksud adalah, Soeharto (Presiden saat itu) ingin segera mengorbitkan Wiranto, dengan berpangkat letjen, Wiranto didorong sebagai perwira senior, melangkahi senior-seniornya di Akmil.
Dan itu benar terjadi, ketika Wiranto menggantikan Hartono (Akmil 1962) sebagai KSAD tahun 1997, ada sekian generasi di Akmil yang hilang kesempatan sebagai KSAD, kecuali Akmil 1963, yang memunculkan Jenderal Wismoyo Arismunandar sebagai KSAD periode 1993-1995.
Nilai politis juga semakin terlihat, ketika dua Pangkostrad setelah Wiranto, juga dijabat oleh perwira-perwira yang sejak lama dikenal dekat (secara pribadi) dengan Soeharto, yakni Sugiono (Akmil 1971) dan Prabowo (Akmil 1974). Hanya karena peristiwa Mei 1998, Prabowo harus lebih cepat menyudahi posisinya sebagai Pangkostrad, dengan perintah langsung dari Habibie (presiden saat itu). Perintah langsung Habibie ini, sekali lagi memperlihatkan betapa politisnya posisi Pangkostrad.
Tipikal Prabowo
Secara tradisional calon KSAD biasanya memang diambil dari perwira yang sedang menjabat Pangkostrad atau Wakil KSAD (WAKASAD), kendati ada juga yang diambil dari jabatan lain, seperti Jenderal Budiman (Akmil 1978, KSAD periode 2013-2014), yang sebelum menjadi KSAD menjabat Sekjen Kemenhan, namun itu sangat jarang terjadi.
Kini ada kecenderungan kuat, kandidat KSAD lebih diprioritaskan bagi pati yang sedang menjabat Pangkostrad, salah satunya karena alasan historis, mengingat Prabowo sendiri pernah menjadi Pangkostrad.
Prabowo sebaiknya menjalankan prinsip alih generasi, sesuai pengalaman dia sendiri saat masih aktif di militer, yang selalu menjadi lokomotif bagi rekan sekelasnya. Itu sebabnya Prabowo sudah menyiapkan perwira lain, yang dari generasi lebih yunior dari Maruli Simanjuntak (Akmil 1992). Salah satu nama yang bisa diajukan adalah Letjen TNI Bambang Trisnohadi (lulusan terbaik Akmil 1993), yang saat tulisan ini masih disiapkan, baru saja dilantik sebagai Pangkogabwilhan III.
Antara Prabowo dan Bambang Trisnohadi sempat bertugas secara bersamaan di Kopassus, kendati dalam durasi yang singkat. Saat Bambang Trisnohadi baru bergabung di Kopassus, Prabowo sudah masuk dalam level pimpinan, yakni sebagai Komandan Grup 3 (di masa lalu membawahi bidang pendidikan) dan Wakil Danjen Kopassus. Itu sebabnya, nama Bambang Trisnohadi selalu masuk dalam "radar” Prabowo.
Saat masih bertugas di Kopassus, Bambang Trisnohadi juga sempat bergabung dalam Satgultor-81 (d/h Detasemen 81). Satgultor-81 Kopassus (bersama Yonif Para Raider 328/Dirgahayu Kostrad) adalah satuan yang sangat identik dengan figur Prabowo. Umum diketahui, Prabowo memberi perhatian khusus pada dua satuan tersebut, terlebih Den-81, dimana Prabowo ikut merintisnya dulu di awal 1980-an.
Kedekatan intensif antara keduanya terus berlanjut, saat Bambang Trisnohadi dipercaya sebagai Direktur Jenderal Strategi Pertahanan Kemenhan, yang langsung bertanggung jawab pada Prabowo (selaku Menhan).
Dari nomenklatur eselon satu di Kemenhan, posisi Dirjen Strathan diangap yang paling strategis, dan ini memberi pengalaman penting pada Bambang Trisnohadi, untuk merasakan atmosfer berdinas di luar struktur Mabes TNI AD.
Berdasarkan asumsi bahwa Pangkostrad dan Wakil KSAD selalu memiliki peluang lebih besar, sebagai kandidat KSAD berikutnya, tentu tidak lama lagi Bambang Trisnohadi akan digeser pada salah satu jabatan tersebut, sembari menunggu pengumuman resmi sebagai KASAD berikutnya.
Bila mengikuti alur karier Prabowo dan berdasarkan nilai strategis, rasanya Bambang Trisnohadi lebih diarahkan sebagai Pangkostrad, ketimbang Wakil KSAD.
Makna strategis posisi Pangkostrad bisa digambarkan sebagai berikut, bahwa ada tiga posisi dalam militer, dimana Presiden seolah menitipkan sebagian nyawanya, masing-masing adalah Komandan Paspampres, Danjen Kopassus, dan Pangkostrad.
Aris Santoso, sejak lama dikenal sebagai pengamat militer, khususnya TNI AD. Kini bekerja sebagai editor buku paruh waktu.
*Setiap tulisan yang dimuat dalam #DWNesia menjadi tanggung jawab penulis.
*Luangkan menulis pendapat Anda atas opini di atas di kolom komentar di media sosial Terima kasih.