Rusia Tunggu Peluang Kirim 11 Jet Tempur Su-35 Flanker-E ke Indonesia, Dibayangi Sanksi AS
TRIBUNNEWS.COM - Rusia dilaporkan masih menunggu peluang pengiriman jet tempur Su-35 Flanker-E ke Indonesia.
Harapan Rusia ini disebutkan tetap besar meski ada penundaan dalam kesepakatan soal jet canggih tersebut yang menyebabkan ketidakpastian yang besar soal jadi tidaknya pembelian.
Menurut Duta Besar Rusia untuk Indonesia di Jakarta, Sergey Tolchenov, kontrak penjualan Su-35 ditangguhkan, tidak dibatalkan.
Baca juga: Rusia Tawarkan Lisensi Produksi 50 Jet Su-30MKI ke Negara yang Pasok Drone Canggih Buat Israel
Dia mengatakan, pada akhirnya penangguhan ini akan memiliki progress setelah lanskap politik di Indonesia menjadi lebih 'menguntungkan'.
Pernyataan ini, yang dibuat saat wawancara sang dubes dengan kantor berita Rusia, TASS.
Pernyataan Sergey tersebut menunjukkan optimisme Rusia kalau kesepakatan penjualan Su-35 Flanker-E ke Indonesia itu akan tercapai, meskipun ada penangguhan saat ini.
Tolchenov menjelaskan, kesepakatan itu "dibekukan," bukannya dihentikan, dan dia berharap kesepakatan itu pada akhirnya akan dihidupkan kembali, kemungkinan besar di bawah pemerintahan baru Indonesia yang kini dipimpin Presiden Prabowo Subianto, tulis laporan situs militer BM, dikutip Selasa (22/10/2024).
Ia juga mengklaim Indonesia masih punya minat yang besar terhadap teknologi penerbangan buatan Rusia, yang mencakup jet tempur Su-35.
"Itu belum dibatalkan; itu hanya ditunda. Kami yakin itu akan dilaksanakan pada akhirnya," tambahnya, menggarisbawahi antisipasi Rusia kalau kesepakatan itu akan terjadi, mungkin dalam iklim politik mendatang.
Gonjang-ganjing pembelian jet tempur Rusia oleh Indonesia ini memang menjadi sorotan sejumlah media luar, termasuk situs BM.
"Keputusan Indonesia untuk membekukan kesepakatan Su-35 terjadi sejak tahun 2021, pun, kesepakatan tersebut masih belum jelas sejak awal tahun 2020," tulis laporan media tersebut.
Saat itu, otoritas Indonesia dilaporkan telah memutuskan untuk membatalkan kontrak tersebut.
Bloomberg melaporkan pada Maret 2020 kalau Indonesia telah memilih untuk membatalkan kesepakatan tersebut, tetapi baru pada tahun 2021 perjanjian tersebut secara resmi dibekukan karena perubahan kondisi politik dan ekonomi, baik di Indonesia maupun secara global.