TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Ketegangan antara Iran dan Israel telah meningkat ke titik yang belum pernah terlihat dalam empat dekade terakhir, menandai titik kritis bagi kawasan tersebut.
Serangan terbaru oleh Israel terhadap fasilitas militer di tiga provinsi Iran merupakan serangan langsung yang belum pernah terjadi sebelumnya, yang semakin mengintensifkan permusuhan antara kedua rival regional tersebut.
Eskalasi ini bukan pertanda baik bagi stabilitas regional. Jika tren ini berlanjut, hal itu dapat memicu konflik yang lebih luas yang tidak hanya terbatas pada Israel dan Iran, tetapi dapat menyelimuti pemain regional lain dan bahkan kekuatan global.
Selama beberapa dekade, strategi militer utama Iran telah berputar di sekitar perang asimetris, memanfaatkan kekuatan proksi untuk mencapai tujuannya tanpa secara langsung melibatkan musuh-musuhnya.
Pendekatan tidak langsung ini telah memungkinkan Teheran untuk memengaruhi konflik di Lebanon, Suriah, Irak, dan Yaman, sambil menghindari konfrontasi skala penuh dengan Israel.
Pemerintah Iran, khususnya Garda Revolusi, mengandalkan Hizbullah di Lebanon, berbagai milisi Syiah di Irak, dan Houthi di Yaman untuk melawan Israel dan sekutunya tanpa memicu pembalasan langsung.
Pakar Timur Tengah Majid Rafizadeh menilai, metode ini terbukti efektif, memungkinkan Iran memperluas pengaruhnya tanpa risiko perang habis-habisan.
Namun, kejadian terkini menunjukkan bahwa telah terjadi pergeseran dari modus operandi yang sudah mapan ini.
"Dinamika berubah drastis pada bulan April ketika Israel melancarkan serangan udara ke konsulat Iran di Damaskus, yang dianggap Teheran sebagai provokasi yang mencolok. Sebagai tanggapan, Iran melakukan sesuatu yang jarang dilakukannya — menyerang Israel secara langsung dengan rudal dan pesawat nirawak," katanya.
Ia menilai, hal tersebut menandai perubahan signifikan dari strategi khas Iran yang menggunakan proksi untuk berperang.
Peluncuran ratusan rudal dan pesawat nirawak ke Israel menunjukkan bahwa Iran bersedia mengambil risiko yang lebih besar.
Setelah Israel membunuh pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, Pemimpin Tertinggi Iran Ali Khamenei, yang memegang keputusan akhir dalam semua kebijakan dalam dan luar negeri Iran, khususnya dalam hal keamanan nasional, tidak membuang waktu untuk memerintahkan serangan balasan.
Namun, meskipun ada perintah serangan langsung, Iran memilih untuk tidak melakukan serangan berkepanjangan.
Penahanan diri ini mungkin merupakan keputusan yang diperhitungkan, yang memungkinkan Iran untuk mengekspresikan ketidakpuasannya tanpa sepenuhnya terlibat dalam konflik yang merugikan.