TRIBUNNEWS.COM, TEHERAN - Presiden Iran Masoud Pezeshkian mengatakan Amerika Serikat (AS) telah membohonginya dan tidak memenuhi janji mereka.
Menurut Pezeshkian, AS sebelumnya berjanji untuk mengamankan gencatan senjata di Gaza sebagai imbalan atas sikap menahan diri Teheran.
Masoud Pezeshkian menyatakan, negaranya tidak menginginkan perang, tetapi akan menanggapi dengan tepat serangan Israel pada 26 Oktober terhadap Iran.
“Kami menyadari bahwa Amerika sedang mendorong Israel untuk melakukan kekejaman. Mereka berjanji untuk mengakhiri konflik sebagai tanggapan atas sikap menahan diri kami, tetapi mereka tidak menepati janjinya.”
“Kami tidak menginginkan perang, tetapi kami akan membela bangsa dan negara kami. Kami akan memberikan tanggapan yang tepat terhadap agresi rezim Zionis,” kata Pezeshkian dalam rapat kabinet pada 27 Oktober.
Suksesor Ebrahim Raisi ini juga mengkritik tindakan para pendukung Israel, khususnya AS, yang “mengaku memperjuangkan hak asasi manusia dan kebebasan".
"Namun mereka tetap bungkam dalam menghadapi pembantaian puluhan ribu wanita dan anak-anak oleh rezim yang kejam ini.”
Pezeshkian juga menyampaikan belasungkawa atas tewasnya para prajurit dan memperingatkan “musuh-musuh Iran” bahwa negara itu “akan menanggapi segala kebodohan dengan kebijaksanaan dan kecerdasan.”
Pada dini hari tanggal 26 Oktober, pasukan Israel melancarkan serangan udara "yang ditargetkan" ke Iran sebagai tanggapan atas serangan rudal skala besar Republik Islam pada tanggal 1 Oktober terhadap Israel.
Serangan udara ini menargetkan lokasi militer di Teheran bagian tengah, Ilam bagian barat, dan provinsi Khuzestan bagian barat daya, yang mengakibatkan tewasnya empat personel pertahanan udara dari Tentara Republik Islam dan beberapa lainnya cedera.
Menurut Axios, sumber-sumber Israel menyatakan bahwa serangan itu dilakukan dari wilayah udara Suriah dan Irak--yang diklaim Israel dan media-media pendukungnya--mengenai empat baterai pertahanan udara S-300 yang ditempatkan secara strategis untuk melindungi Teheran dan fasilitas nuklir dan energi yang penting.
Selain itu, lokasi yang digunakan dalam memproduksi bahan bakar padat untuk rudal balistik jarak jauh Iran disebut menjadi sasaran.
Setelah serangan Israel, New York Times mengklaim bahwa pihaknya diberi tahu dua pejabat Iran yang tidak disebutkan namanya bahwa salah satu lokasi yang menjadi sasaran adalah sistem pertahanan udara S-300 di Bandara Internasional Imam Khomeini dekat Teheran.
Namun, Saeed Chalandari, direktur pelaksana Bandara Imam Khomeini Teheran, membantahnya klaim media Amerika Serikat tersebut.
"Saya tidak tahu bagaimana media dari negara yang sangat memusuhi Iran bisa mendapat akses dan informasi sensitif. Mungkin hanya imajinasi mereka dan berlindung di balik kata 'sumber' kami, seolah itu adalah info yang akurat," katanya.
"Saya sampaikan tidak ada sistem pertahanan anti-udara yang pernah dipasang di Bandara Imam Khomeini dan tidak ada kerusakan yang terjadi di atau dekat fasilitas tersebut."
Pejabat tinggi Iran lainnya mengutuk serangan Israel, memuji upaya pertahanan udara Iran dalam menangkis serangan tersebut dan menekankan hak negara tersebut untuk membalas.
Pada tanggal 27 Oktober, Pemimpin Tertinggi Iran Ayatollah Ali Khamenei menanggapi serangan tersebut saat bertemu dengan keluarga "martir" dari pasukan keamanan di Teheran.
Ia menuduh Israel "melebih-lebihkan" serangannya, menyebutnya sebagai "salah perhitungan" atas kemampuan Iran, yang menurutnya harus "diperbaiki" oleh Teheran.
"Mereka tidak mengenal Iran, tidak mengenal pemuda Iran, bangsa Iran; mereka belum memahami dengan benar kekuatan, kemampuan, inisiatif, dan kemauan bangsa Iran. Kita harus membuat mereka mengerti," katanya.
Ali Khamenei kembali mengecam "kejahatan perang" Israel di Gaza dan Lebanon dan mengkritik negara-negara lain serta organisasi internasional, termasuk PBB, atas kegagalan mereka dalam menangani masalah ini.
Menteri Luar Negeri Iran Abbas Araghchi juga mengecam "serangan kriminal" Israel, dan menyebutnya sebagai "pelanggaran hukum internasional dan Piagam PBB."
Araghchi kemudian mengirim surat yang meminta pertemuan darurat Dewan Keamanan PBB untuk meminta pertanggungjawaban Israel atas serangan itu dan menegaskan kembali hak Iran untuk menanggapi.
Dalam sebuah pernyataan, Staf Umum Angkatan Bersenjata Iran menegaskan bahwa negara itu berhak untuk mengambil "tindakan yang sah" pada "waktu yang tepat" sebagai tanggapan atas serangan Israel.
Pernyataan itu menyebutkan bahwa sistem pertahanan udara Iran telah mencegah pesawat musuh memasuki wilayah udara Iran, dengan mengklaim bahwa pasukan Israel "menggunakan wilayah udara yang dikendalikan oleh tentara teroris Amerika di Irak, seratus kilometer dari perbatasan Iran."
Lebih lanjut disebutkan bahwa sementara beberapa sistem radar yang rusak segera diperbaiki, yang lain masih dalam tahap perbaikan.
Setelah serangkaian operasi Israel yang menghancurkan terhadap proksi utama Iran, Hizbullah, dan pembunuhan pemimpinnya Hassan Nasrallah, pemimpin Hamas Ismail Haniyeh, dan Abbas Nilforoushan, kepala operasi Pasukan Quds IRGC, Teheran melancarkan serangan rudal besar-besaran terhadap Israel pada tanggal 1 Oktober.
Ini menandai serangan rudal kedua Iran sejak April, meskipun, seperti serangan sebelumnya, kerusakan yang ditimbulkannya sangat minimal.