Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), António Guterres kembali menyerukan percepatan dikuranginya gas rumah kaca yang merusak iklim. "Kita berada dalam hitungan mundur terakhir untuk membatasi pemanasan global hingga 1,5 derajat (dibandingkan dengan masa sebelum era revolusi industri)," kata Guterres pada Konferensi Iklim Dunia ke-29 (COP29) di Ibu Kota Azerbaijan, Baku.
"Dan waktu tidak berpihak pada kita," katanya. Untuk mencapai tujuan tersebut, emisi global harus turun sebesar 43 persen pada tahun 2030 dibandingkan tahun 2019, tegas Guterres. Namun sayangnya saat ini jumlah emisi gas rumah kaca masih meningkat.
Dalam pidatonya, Guterres memberikan gambaran suram tentang Bumi yang semakin terancam akibat perubahan iklim. Tahun 2024 hampir pasti akan menjadi tahun terpanas sejak pencatatan dimulai, menjadi tahun yang penuh "pelajaran mengenai kehancuran iklim."
Ayo berlangganan newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Media di tahun ini dipenuhi berita infrastruktur hancur akibat banjir, anak-anak tidur dalam keadaan kelaparan akibat kekeringan, pekerja dan orang-orang dalam perjalanan haji pingsan atau tewas karena panas yang tak tertahankan, kata Guterres. "Dan tidak ada negara yang terhindar dari hal ini."
Iklim bermasalah "gara-gara orang kaya"
Sekretaris Jenderal PBB mengimbau negara-negara industri untuk tidak meninggalkan negara-negara berkembang dalam upaya melawan krisis iklim. "Negara-negara berkembang tidak boleh meninggalkan Baku dengan tangan kosong. Harus ada sebuah perjanjian yang disepakati." Bagaimanapun, negara-negara kaya berkontribusi paling besar terhadap perubahan iklim dan negara-negara miskin paling menderita karenanya.
"Yang kaya menyebabkan masalah, yang miskin menanggung akibatnya," kritik Guterres. Dia merujuk pada analisis Oxfam yang menemukan bahwa miliarder terkaya menghasilkan lebih banyak CO2 dalam satu setengah jam dibandingkan rata-rata manusia lain di sepanjang hidupnya.
Menurut perkiraan para ahli, setidaknya diperlukan satu triliun dolar AS per tahun di masa depan untuk mendukung negara-negara di kawasan selatan dalam perlindungan iklim dan adaptasi terhadap dampak pemanasan global.
Sejumlah perhitungan bahkan menyebutkannya sebesar $2,4 triliun. Hingga saat ini, negara-negara industri kaya telah menjanjikan setidaknya $100 miliar per tahun untuk mempromosikan perlindungan dan adaptasi iklim.
Tugas utama para delegasi di COP29 adalah menentukan kerangka keuangan baru untuk periode setelah tahun 2025. "Pendanaan iklim bukanlah sebuah amal, melainkan investasi," tegas Guterres. "Tindakan terhadap perubahan iklim bukanlah suatu pilihan, melainkan keharusan."
Minyak dan gas anugerah Tuhan?
Sementara itu, Presiden negara tuan rumah COP29 Azerbaijan, Ilham Aliyev, melancarkan serangan besar-besaran terhadap media Barat dan aktivis lingkungan hidup. Aliyev, yang memerintah bekas Azerbaijan sejak 2003, mengatakan negaranya menjadi target "berita palsu" dan "kampanye pembunuhan karakter dan pemerasan yang terkoordinasi dengan baik." Ia juga mengulangi kutipan kontroversialnya bahwa cadangan minyak dan gas di Azerbaijan adalah "anugerah Tuhan".
Menurutnya, tidak ada negara yang boleh disalahkan karena memiliki dan memasarkannya. Karena pasar membutuhkannya, maka masyarakat pun membutuhkannya," kata dia. Minyak dan gas adalah sumber daya alam, seperti emas, tembaga, angin atau matahari.
"Menyalahkan kami karena memiliki minyak sama saja dengan mempersalahkan kami karena di Baku, matahari bersinar selama lebih dari 250 dalam setahun."
Bahkan sebelum konferensi dimulai, para pemerhati lingkungan ragu bahwa Azerbaijan dapat memimpin perhelatan besar PBB tersebut dengan kredibel dan netral. Pernyataan Aliyev tersebut tidak sejalan dengan keputusan Konferensi Iklim Dunia (COP28) tahun 2023 di Dubai. Saat itu, untuk pertama kalinya negara-negara berkomitmen untuk meninggalkan pemakaian bahan bakar fosil, batu bara, minyak, dan gas.
Sekitar 50.000 orang ambil bagian dalam konferensi iklim dunia tahun ini, jauh lebih sedikit dibandingkan ketika diselenggarakan di Dubai. Negosiasi dijadwalkan berakhir pada Jumat pekan depan, namun perpanjangan negosiasi juga bisa terjadi.
Kanselir Jerman Olaf Scholz tidak melakukan perjalanan ke Baku karena krisis pemerintahan di Jerman. Presiden AS Joe Biden dan kepala negara tuan rumah COP 2025, Luiz Inácio Lula da Silva dari Brasil, juga tidak hadir.
ae/ (dpa, afp, rtr, epd)