Cuaca mendung dan dingin yang menyelimuti kota hari itu justru menambah kehangatan di ruangan toko buku Der andere Buchladen di Kota Köln, Jerman. Ruangan toko yang malam itu berubah menjadi ajang acara pembacaan buku dipenuhi hadirin sudut-sudut terakhirnya. Toko buku ini memang spesialis tema-tema antikapitalisme, sejarah pergerakan demokrasi, dekolonisasi, dan solidaritas internasional, dan pembacaan buku adalah acara regulernya.
Tapi malam ini memang istimewa. Buku yang dibahas adalah Orang-Orang Oetimu, yang baru saja dirilis penerbit Nautilus Verlag dalam bahasa Jerman dengan judul "Die Leute von Oetimu" karya Felix K. Nesi. Yang membuat acara yang diprakarsai bersama dengan Yayasan Asienhaus dan Deutsch-Indonesische Gesellschaft DIG Köln ini menjadi spesial adalah kehadiran penerjemahnya, Sabine Müller, dan tentu saja kedatangan penulisnya: Felix K. Nesi.
Felix memang seperti sosok yang misterius, seperti juga singkatan K. dalam namanya. Lahir di Insana, Timor Barat tahun 1988, dia tergolong penulis muda di Indonesia yang sedang mendapat banyak sorotan. Terutama karyanya, Orang-orang Oetimu, yang memenangkan Kompetisi Novel Dewan Kesenian Jakarta tahun 2018, dan penghargaan sastra Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia tahun 2021.
Narasi kritis sejarah Indonesia dan kolonialisme
Novel ini menggali kisah-kisah kehidupan di Nusa Tenggara Timur (NTT), memadukan nuansa bahasa dan budaya Timor dengan jenaka sekaligus mengkritisi narasi sejarah Indonesia yang menurut penulisnya sering mengabaikan, ya bahkan menghapus, perspektif daerah. Ini bukan buku pertama Felix Nesi, tapi buku ini yang banyak menerangkan motivasinya menulis.
"Saya sebenarnya hanya ingin bercerita, bukan menulis buku, terutama bercerita kepada teman-teman," katanya ketika kami berbincang di sebuah café kecil yang temaram seusai acara. Dia memang sudah menulis sejak kecil, dan sangat tertarik pada kisah-kisah sejarah dan petualangan. Tapi banyak buku Indonesia hanya bercerita tentang sejarah nasional, padahal orang-orang daerah punya sejarahnya sendiri, ujar Felix.
Orang-orang Oetimu memang bercerita tentang sejarah, tanpa menjadi acuan sejarah. Ada cuplikan tentang sejarah Timor Timur, yang dulu berada di bawah jajahan Portugis, sampai terjadi pergolakan politik di Portugal sendiri tahun 1974, yang juga berdampak ke wilayah jajahannya.
Ayo berlangganan gratis newsletter mingguan Wednesday Bite. Recharge pengetahuanmu di tengah minggu, biar topik obrolan makin seru!
Ketika makin jelas bahwa para pejuang kemerdekaan dari kubu kiri di Timor Timur akan memenangkan pertarungan kekuasaan, Indonesia mengirim pasukan besar-besaran dan menginvasi wilayah itu.
Sebuah ironi sejarah, di mana sejarah panjang kolonialisme di Indonesia, oleh Portugis, Inggris, Belanda, dan Jepang akhirnya berujung pada penjajahan Indonesia atas Timor Timur. Padahal mukadimah Konstitusi Republik Indonesia memuat kata-kata: Kemerdekaan ialah hak segala bangsa.
Sejarah brutal pendudukan Indonesia berakhir tahun 1999, ketika warga Timor Timur dengan mayoritas besar mendukung opsi kemerdekaan dalam sebuah referendum yang diselenggarakan oleh PBB, yang melahirkan Republik Timor Leste tiga tahun kemudian.
Tapi ini adalah buku fiksi, bukan buku sejarah. Jadi jangan mencari Oetimu di peta, karena tempat itu adalah rekaan penulisnya. Namun, cerita pembuka di buku itu berawal dari kejadian yang memang ada: Pertandingan final Piala Dunia antara Prancis dan Brasil Juli 1998, yang dimenangkan tuan rumah Prancis 3:0.
Tentara, brutalitas, dan kelucuan-kelucuan lain
Gaya bercerita Felix memang sangat dinamis, penuh gejolak, kejutan, guyonan dan satir. Pembaca terombang-ambing dalam emosi dan moralitas. Siapa kawan siapa lawan, siapa pahlawan siapa pengkhianat, semuanya kembali pada emosi dan moralitas pembacanya. Sama seperti pertandingan final Piala Dunia itu, banyak yang mengharapkan Brasil, sebuah negara berkembang, akan jadi juara mengalahkan adidaya Prancis, bekas penjajah besar di Afrika dan Timur Tengah.
Tahun 1998 sendiri punya arti khusus dalam sejarah Indonesia, setelah Suharto mengundurkan diri dan era reformasi dimulai oleh Presiden Habibie, yang mengizinkan PBB mengadakan referendum di Timur-Timur, di bawah protes para jenderal militer.
Kekuasan tentara di era Orde Baru, tidak banyak generasi sekarang yang tahu, adalah masa-masa menakutkan. "Saya takut sekali kalau melihat seragam tentara. Waktu datang ke Jakarta, teman-teman dan saya sendiri sering heran, mengapa kalau melihat tentara, saya jadi takut," kata Felix tertawa.
Orang-Orang Oetimu memang bercerita banyak tentang kehidupan yang jauh dari Jakarta, sekaligus mempertanyakan dominasi dan sikap Jawa-sentris para politisi di Jakarta. Sikap ini juga memengaruhi sikap dan tindak-tanduk otoritas di daerah dan melahirkan kelucuan-kelucuannya sendiri. Tragedi dan komedi memang jadi salah satu ciri khas Felix. "Cerita memang harus lucu, supaya pembacanya tidak bosan kalau membaca," kata Felix.
Dia sendiri berangkat dari budaya bertutur, yang masih melekat pada banyak masyarakat di Timor-Timur. "Jadi, cerita-cerita saya tulis perama-tama bukan untuk sastra, tapi untuk teman-teman," kata Felix. Sering dia mulai menulis ceritanya, tanpa tahu bagaimana cerita itu akan berkembang atau berakhir. "Setelah saya mulai menulis, baru ketemu kelanjutannya. Oh, begini.."
Felix banyak menggunakan kosakata dialek lokal dalam ceritanya, karena itu memang cerita-cerita lokal, cerita dari Timor. Tapi, seperti plot pertandingan final Piala Dunia, cerita Orang-Orang Oetimu pada saat yang sama sangat internasional, mengetengahkan tema-tema kolonialisme, agama, dan identitas lokal yang berasimilasi dengan pengaruh-pengaruh luar.
Dari Jerman, Felix berangkat ke Basel, Swiss. Perjalanan di Eropa kali ini didanai oleh Kementerian Kebudayaan RI. Lalu cerita apa saja yang dicatat Felix dari perjalanan kali ini di Eropa? Mungkin akan kita temui dalam karya-karya dia berikutnya, mungkin juga tidak, masih misterius. Yang pasti, cerita-cerita Felix akan segar, lucu, sekaligus tragis dan melankolis, seperti perpisahan kami di malam gerimis bertudung awan November di bar temaram bernama Wundertüte (Tas Ajaib) itu.
Felix K Nesi: Die Leute von Oetimu. Edition Nautilus GmbH, ISBN 978-3-96054-370-1. Übersetzt von Sabine Müller.