Hal ini memicu kontroversi di kalangan publik, yang menuduh Kim Jong Un menjadikan pasukannya sebagai "martir perang" dalam konflik yang dianggap ilegal.
Meskipun ada stigma negatif yang melingkupi pengiriman pasukan ke Rusia, banyak prajurit Korea Utara justru merasa bangga dan terhormat dapat terlibat dalam misi ini.
Mereka melihat kesempatan ini sebagai pengalaman langka dan kesempatan untuk melihat serta mencoba berbagai alat tempur canggih milik militer Rusia.
Menyusul kehadiran mereka di Rusia, para prajurit tersebut juga dilaporkan mendapatkan perlakuan istimewa dan merasa dihargai, yang membuat mereka merasa terpilih di antara banyak tentara Korea Utara lainnya.
Menurut Lee Woonggil, seorang jurnalis yang mengutip dari AP News, para prajurit merasa misi ini dapat menjadi kesempatan yang menguntungkan secara finansial, dengan pemerintah Rusia menjanjikan bayaran sebesar 2.000 dollar AS (sekitar Rp 31 juta) per bulan bagi mereka yang bersedia ditugaskan ke Kursk.
Dengan adanya dukungan militer maupun non-militer yang saling diberikan, kedua negara tampaknya semakin berkomitmen untuk bekerja sama di tengah situasi geopolitik yang rumit.
Hubungan yang terbina ini, meskipun kontroversial, menunjukkan betapa pentingnya aliansi dalam arena politik global saat ini.
(Tribunnews.com/Namira Yunia)