“Longsor adalah pergerakan massal batu, tanah, atau puing-puing, menuruni lereng. Ini dapat terjadi secara tiba-tiba atau lebih lambat dalam jangka waktu yang lama,” menurut British Geological Survey.
Bank Dunia memperkirakan tiap tahun terjadi 400.000 longsor dipicu hujan lebat dan 130.000 disebabkan gempa bumi.
Data Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menunjukkan angka kematian akibat tanah longsor di seluruh dunia mencapai 18.000 orang dari 1988 hingga 2017. Longsor juga berdampak terhadap 4,8 juta orang di seluruh dunia.
Sejumlah pakar berpendapat tak banyak yang menganggap serius kerusakan yang disebabkan tanah longsor.
“Biasanya saya mencatat terjadi sekitar 450 longsor yang menyebabkan hilangnya nyawa di seluruh dunia setiap tahunnya. Asia Selatan adalah yang paling terdampak. Umumnya sekitar 4.500 nyawa melayang akibat longsor dalam setahun, tetapi terkadang bisa jauh lebih tinggi," jelas Profesor Dave Petley, pakar ilmu bumi dan wakil rektor Universitas Hull di Inggris.
Perubahan iklim dan faktor manusia
WHO memperingatkan, perubahan iklim dan kenaikan suhu global akan memicu lebih banyak longsor di daerah pegunungan dengan salju dan es.
Prof Petley berpendapat pembangunan jalan dan bendungan di pegunungan menjadi faktor pendorong terbesar terjadinya longsor. Mega proyek mengubah sistem drainase alami.
Selain itu, pemangkasan lereng untuk pembangunan jalan membuat kemiringan tanah menjadi lebih tidak stabil. “Kualitas pembangunan jalan yang buruk adalah masalah terbesar,” katanya.
“Kita juga kehilangan hutan secara signifikan.”
Penebangan hutan dan aktivitas konstruksi memang turut berkontribusi atas bencana longsor di negara bagian Kerala.
Shruthi dan komunitasnya menyadari bahwa daerah tersebut rentan setelah terjadinya bencana longsor mematikan yang mengakibatkan 17 korban jiwa pada tahun 2019.
Seperti kebanyakan warga desa setempat, keluarga Shruthi sudah menetap di sana selama beberapa generasi dan tidak ingin pindah.
“Kami tidak menganggap peringatan itu serius,” aku Shruthi.