TRIBUNNEWS.COM, LEBANON - Militer Israel melancarkan gelombang serangan udara serentak pada Selasa (26/11/2024) sore terhadap 20 target Hizbullah di Dahiyeh Beirut selatan, Lebanon.
Serangan dadakan itu dilakukan sesaat sebelum kabinet keamanan Israel bersidang dan menyetujui gencatan senjata dengan Hizbullah di Lebanon.
Dikutip dari Times of Israel, Rabu (27/11/2024), Pasukan Pertahanan Israel mengatakan bahwa untuk pertama kalinya dalam 24 tahun, tentaranya telah mencapai sebagian Sungai Litani, yang relatif dekat dengan perbatasan.
Sebanyak 20 bangunan di pinggiran selatan ibu kota Lebanon, benteng Hizbullah, hancur oleh rudal Israel.
Pasukan pertahanan Israel IDF mengatakan bahwa hanya dalam waktu dua menit, mereka telah menyerang semua 20 lokasi itu.
Gelombang serangan udara yang cepat dan luas itu dilakukan oleh delapan jet tempur, menurut militer.
Tujuh bangunan yang menjadi sasaran serangan itu digunakan oleh Hizbullah untuk mengelola dan menyimpan dana, kata IDF, termasuk kantor pusat, brankas, dan cabang asosiasi Al-Qard al-Hasan, yang diketahui digunakan oleh kelompok Hizbullah sebagai bank.
"Ke-13 lokasi lainnya termasuk pusat pasukan udara Hizbullah, ruang komando divisi intelijen, depot senjata, dan infrastruktur militer lainnya," kata IDF.
Tak Lama Kemudian Israel Setuju Gencatan Senjata
Tak butuh berapa lama setelah serangan brutal itu, Israel akhirnya setuju gencatan senjata dengan kelompok Hizbullah di Lebanon.
Gencatan senjata itu mengakhiri konflik Israel dan Hizbullah selama 13 bulan lamanya.
Dari Taman Mawar Gedung Putih, Presiden Amerika Serikat (AS) Joe Biden mengatakan kesepakatan itu "dirancang untuk menjadi penghentian permusuhan secara permanen" dan dimulai hari ini pukul 4 pagi waktu setempat.
Isi Kesepakatan Gencatan Senjata
Kesepakatan gencatan senjata tersebut menetapkan penghentian perang selama 60 hari.
Oleh para negosiator digambarkan sebagai dasar gencatan senjata yang langgeng.
Selama waktu tersebut, para pejuang Hizbullah diperkirakan akan mundur sekitar 40 kilometer (25 mil) dari perbatasan Israel-Lebanon.
Sementara pasukan darat Israel mundur dari wilayah Lebanon.
Resolusi Dewan Keamanan PBB 1701, yang mengakhiri perang habis-habisan terakhir antara kedua negara pada tahun 2006, telah menjadi dasar kesepakatan dan negosiasi terutama berkisar pada penegakan perjanjian tersebut.
Berdasarkan perjanjian tersebut, Lebanon akan menerapkan pengawasan yang lebih ketat terhadap pergerakan Hizbullah di sebelah selatan sungai Litani di negara itu, untuk mencegah militan berkumpul kembali di sana.
Pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa, militer Lebanon, dan sebuah komite multinasional akan ditugaskan untuk mengawasi pergerakan kelompok yang didukung Iran tersebut.
Israel telah berjanji akan melanjutkan operasi militer jika terjadi pelanggaran perjanjian.
Akankah gencatan senjata bertahan?
Perjanjian gencatan senjata ini menandai berakhirnya masa gencatan senjata yang sangat dibutuhkan bagi warga sipil Lebanon.
Dimana ratusan diantaranya telah tewas dalam serangan udara Israel, dan juga bagi warga Israel, yang jutaan di antaranya telah berlindung di tengah rentetan tembakan roket harian Hizbullah.
Namun, ada pertanyaan tentang berapa lama gencatan senjata akan berlangsung. Israel bersikeras akan mengambil tindakan militer sebagai tanggapan atas pelanggaran perjanjian.
Itu dapat memicu kembali konflik, membahayakan upaya diplomatik yang didukung AS.
Apakah gencatan senjata ini akan berdampak pada perang di Gaza?
Warga Palestina di Gaza tidak mungkin menemukan ketenangan jika kesepakatan Lebanon ditandatangani, menurut seorang analis regional.
Kemungkinan kesepakatan antara Hizbullah dan Israel “tidak berarti apa-apa bagi Gaza,” kata HA Hellyer, seorang peneliti senior bidang studi keamanan di Royal United Services Institute (RUSI) di London, kepada CNN.
"Saya tidak yakin bahwa kesepakatan apa pun terkait Lebanon akan meningkatkan kemungkinan terjadinya gencatan senjata di Gaza," kata Hellyer, seraya menambahkan bahwa sudah lama tidak ada negosiasi gencatan senjata yang substansial di Gaza.
Sumber: Times of Israel/CNN