TRIBUNNEWS.COM - Langkah blok BRICS (Brasil, Rusia, India, Cina, dan Afrika Selatan) yang hendak membuat mata uangnya sendiri mendapat penentangan keras dari Presiden Terpilih Amerika Serikat (AS) Donald Trump.
Hal ini disampaikan oleh Donald Trump pada platform Truth Social Sabtu sore waktu setempat (30/11/2024).
"Gagasan bahwa negara-negara BRICS berusaha menjauh dari Dolar sementara kita hanya diam menyaksikan SUDAH BERAKHIR. Kami memerlukan komitmen dari negara-negara ini bahwa mereka tidak akan menciptakan mata uang BRICS baru, atau mendukung mata uang lain untuk menggantikan Dolar AS yang perkasa." buka Trump.
Donald Trump bahkan mengancam BRICS bakal menghadapi kenaikan tarif dagang dua kali lipat apabila mereka tetap berkomitmen untuk menciptakan mata uang baru tersebut selama masa pemerintahannya.
"Jika tidak, mereka akan menghadapi tarif 100 persen dan harus siap untuk mengucapkan selamat tinggal pada peluang menjual barang ke dunia perekonomian AS yang luar biasa," tulis Trump.
Ancaman ekonomi terbaru Trump ini muncul beberapa hari setelah ia berjanji akan memberlakukan kenaikan tarif besar-besaran atas barang-barang dari Meksiko, Kanada, dan China mulai hari pertama pemerintahannya.
Langkah tersebut, kata Trump, adalah sebagai pembalasan atas imigrasi ilegal serta "kejahatan dan narkoba" yang melintasi perbatasan.
Sejak pengumuman itu, Trump telah berbicara dengan Presiden Meksiko, Claudia Sheinbaum.
Sementara itu, Perdana Menteri Kanada, Justin Trudeau, melakukan perjalanan ke resor Mar-a-Lago milik Trump di Florida untuk bertemu dengan sang presiden terpilih.
Trudeau mengatakan bahwa makan malam pada hari Jumat lalu (29/11/2024) dengan Trump adalah "percakapan yang sangat baik," dan Trump menyebutnya sebagai "pertemuan yang sangat produktif."
Mata Uang BRICS
Baca juga: Dicecar Komisi I DPR Soal Keikutsertaan Indonesia di BRICS, Apa Jawaban Menlu Sugiono?
Keinginan BRICS untuk membuat mata uangnya ini sendiri terus meningkat seiring banyaknya negara yang kini bergabung dengan blok geo-politik buatan tahun 2011 tersebut.
Selain terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan. pada awal tahun ini BRICS juga menyambut Iran, Uni Emirat Arab, Ethiopia, dan Mesir sebagai negara anggotanya.
Bergabungnya 4 negara tersebut menjadi ekspansi pertama BRICS dalam lebih dari satu dekade.
Menteri Luar Negeri Afrika Selatan, Naledi Pandor, menyebutkan pada Februari bahwa sebanyak 34 negara telah menyatakan minat untuk bergabung dengan blok ekonomi utama tersebut.
Banyaknya negara yang ingin bergabung dengan BRICS ini pun melecut keinginan untuk membuat meta uang baru bagi anggotanya.
Usulan ini pertama kali dilontarkan oleh pemimpin salah satu negara anggota BRICS yakni Luiz Inácio Lula da Silva dari Brasil.
Pada tahun 2023 lalu, Lula yang menjabat sebagai Presiden Brasil mengusulkan pembuatan mata uang bersama bagi anggota BRICS untuk mengurangi ketergantungan pada Dolar AS.
Penggunaan mata uang BRICS dan jaringan perbankan di luar sistem berbasis dolar AS dapat memungkinkan negara-negara anggota seperti Rusia, China, dan Iran menghindari sanksi Barat.
Namun, peluang pembentukan mata uang baru tampaknya kecil mengingat perbedaan ekonomi dan geopolitik di dalam aliansi tersebut.
Berbicara kepada wartawan menjelang pertemuan puncak BRICS di Rusia pada Oktober, Presiden Rusia, Vladimir Putin tak begitu ambil pusing untuk memprioritaskan wacana tersebut.
" Saat ini kita tidak mempertimbangkan masalah ini (Mata uang BRICS)." ungkap Putin kala itu seperti yang dikutip dari CNN>
"Waktunya belum tiba. Kita harus sangat hati-hati dan bertindak secara bertahap, tanpa tergesa-gesa," kata Putin saat ditanya tentang langkah-langkah menuju pengembangan mata uang bersama.
Putin juga menambahkan bahwa kelompok BRICS masih mempelajari kemungkinan penggunaan mata uang nasional yang lebih luas dan meningkatkan koordinasi antara bank sentral mereka untuk mendukung perdagangan.
Selama KTT BRICS pada bulan Oktober, Putin dan pemimpin China, Xi Jinping, berusaha menyampaikan pesan bahwa negara-negara Barat tak sadar bahwa mereka saat ini terisolasi dari pemikiran bahwa "mayoritas global" saat ini mendukung upaya mereka untuk menantang kepemimpinan global Amerika.
(Tribunnews.com/Bobby)