TRIBUNNEWS.COM - Politik Korea Selatan (Korsel) geger besar.
Pertanyaan mengenai masa depan politik Presiden Korea Selatan, Yoon Suk Yeol, makin mencuat.
Apalagi setelah anggota parlemen oposisi mengancam akan memulai proses pemakzulan terhadap Yoon, jika ia tidak segera mengundurkan diri.
Berdasarkan konstitusi Korea Selatan, pemakzulan presiden dapat dilakukan jika melanggar konstitusi atau undang-undang lainnya dalam pelaksanaan tugasnya.
Dikutip dari CNN, proses ini memerlukan usulan dari mayoritas parlemen dan persetujuan dua pertiga dari semua anggota.
Setelah itu, usulan pemakzulan akan diajukan ke Mahkamah Konstitusi, di mana setidaknya enam dari sembilan hakim harus menyetujui untuk melanjutkan proses tersebut.
Selama proses pemakzulan, presiden akan diskors dari kekuasaannya, dan Perdana Menteri akan bertindak sebagai pemimpin sementara.
Kontroversi Darurat Militer
Masa depan politik Yoon semakin tidak pasti setelah ia mengumumkan darurat militer pada Selasa (3/12/2024) malam, yang kemudian dicabut beberapa jam setelahnya.
Keputusan ini muncul setelah reaksi keras dari anggota parlemen dan masyarakat, di tengah popularitas Yoon yang merosot akibat serangkaian skandal.
Baca juga: Presiden Korsel Yoon Suk Yeol Resmi Cabut Darurat Militer, Cuma Berlaku 5 Jam usai Ditolak Parlemen
Menurut jajak pendapat Gallup Korea, tingkat penerimaan terhadapnya hanya 19 persen.
Yoon mengeklaim partai oposisi bersimpati dengan Korea Utara dan mengutip mosi dari Partai Demokrat untuk memakzulkan jaksa penuntut umum.
Namun, keputusan darurat militer ini ditolak oleh 190 anggota Majelis Nasional yang hadir dalam sidang darurat.
Ancaman Pemakzulan dari Oposisi
Partai Demokratik Korea Selatan mengancam akan memulai proses pemakzulan jika Yoon tidak segera mundur.
Mereka menyebut deklarasi darurat militer sebagai tindakan pemberontakan.