Pada 1949, AS dan Uni Soviet telah menarik sebagian besar pasukan mereka dari Korea, tetapi tindakan itu tidak banyak membantu meredakan ketegangan antara Korut dan Korsel.
Sebaliknya, bentrokan berdarah antara kedua negara semakin sering terjadi di sepanjang perbatasan de facto.
Baik pemimpin Korut maupun pemimpin Korsel ingin menyatukan kembali Korea secara paksa.
Pada 25 Juni 1950, pemimpin komunis Korea Utara, Kim Il-sung, melancarkan aksinya.
Saat matahari belum terbit, ia mengerahkan pasukan tempur yang terlatih guna melancarkan serangan mendadak dengan melintasi perbatasan paralel ke-38.
Pasukan Korea Utara, yang dilengkapi senjata buatan Soviet, dengan cepat mengalahkan tentara Korea Selatan. Dalam beberapa hari, mereka berhasil merebut ibu kota Korea Selatan, Seoul, dan memaksa banyak warganya untuk bersumpah setia kepada Partai Komunis. Jika menolak, warga akan menghadapi hukuman penjara atau eksekusi mati.
BBC News Indonesia hadir di WhatsApp.
Jadilah yang pertama mendapatkan berita, investigasi dan liputan mendalam dari BBC News Indonesia, langsung di WhatsApp Anda.
Di AS, Presiden Truman terkejut dengan kecepatan dan keberhasilan serangan Korea Utara.
Sebagai seorang yang percaya pada "teori domino"—bahwa jika satu negara jatuh ke tangan komunisme, negara lain akan mengikuti—ia memohon kepada PBB untuk membela Korea Selatan.
Uni Soviet dapat saja memveto pemungutan suara ini. Namun pada saat itu, Uni Soviet memboikot Dewan Keamanan PBB karena menolak mengakui Republik Rakyat China.
Maka, pada 28 Juni 1950, sebuah resolusi disahkan yang menyerukan kepada semua negara anggota PBB untuk membantu mengusir invasi Korut. MacArthur, jenderal AS yang telah menerima penyerahan Jepang pada akhir Perang Dunia Kedua, diangkat menjadi komandan pasukan gabungan PBB.
Membalikkan arus serangan
AS adalah pihak pertama yang merespons, dengan mengirim tentaranya yang ditempatkan di Jepang. Namun, pasukan ini tidak siap menghadapi pasukan Korea Utara yang lebih unggul dan mampu memukul mundur pasukan AS.