Oposisi Suriah Rebut Kota Penting Hama, Peneliti Internasional: Pukulan Telak Rezim Bashar al-Assad
TRIBUNNEWS.COM - Kelompok oposisi bersenjata yang dipimpin kelompok Islam Hayat Tahrir al-Sham (HTS) merebut kota Hama di wilayah tengah Suriah pada Kamis (5/12/2024).
Para peneliti internasional menilai jatuhnya Kota Hama ini sebagai pukulan telak baru buat Pasukan Presiden Bashar al-Assad dalam beberapa hari setelah mereka kehilangan pusat komersial negara itu, Aleppo.
Baca juga: Konflik Suriah: 300 Tewas, Oposisi Anti-Rezim Bobol Pertahanan Kota Hama, Drone Tembus Damaskus
Oposisi bersenjata anti rezim-Assad di Suriah ini telah melancarkan serangan mereka lebih dari seminggu yang lalu, tepat ketika gencatan senjata di negara tetangga Lebanon terjadi antara Israel dan sekutu Assad, Hizbullah.
Menyusul bentrokan semalam, pemberontak menyerbu Hama "dari beberapa sisi" dan terlibat dalam pertempuran jalanan dengan pasukan Assad, menurut pemantau perang yang berbasis di Inggris, Observatorium Suriah untuk Hak Asasi Manusia.
Para faksi oposisi kemudian mengumumkan "pembebasan penuh kota Hama", dalam sebuah pesan di saluran Telegram mereka.
Para pejuang oposisi mencium tanah dan melepaskan tembakan perayaan saat mereka memasuki kota terbesar keempat di Suriah.
Banyak warga yang menyambut para pejuang oposisi anti-pemerintah Suriah ini.
Seorang fotografer AFP melihat beberapa warga membakar poster raksasa Assad di fasad balai kota.
Adapun Tentara Suriah mengakui kehilangan kendali atas kota itu, yang berlokasi strategis antara Aleppo dan pusat kekuasaan Assad di Damaskus.
Menteri Pertahanan Ali Abbas menegaskan bahwa penarikan pasukan adalah "tindakan taktis sementara".
"Pasukan kami masih berada di sekitar lokasi," katanya dalam pernyataan yang disiarkan oleh kantor berita resmi SANA.
Pukulan Telak Bagi Rezim Assad
Aron Lund, seorang peneliti di lembaga pemikir Century International, menyebut kekalahan di Hama sebagai "pukulan telak bagi pemerintah Suriah".
"Hal itu karena, tentara Suriah seharusnya memiliki keuntungan di sana untuk membalikkan capaian pemberontak "dan mereka tidak dapat melakukannya"," kata Lund dikutip dari Anew, Jumat (6/12/2024).
Ia mengatakan HTS sekarang akan mencoba maju ke arah kota terbesar ketiga Suriah, Homs, sekitar 40 kilometer (25 mil) ke selatan, tempat banyak penduduk telah meninggalkan kota itu pada hari Kamis, sebagaimana ditunjukkan dalam gambar di media sosial.
Direktur Observatorium Rami Abdel Rahman melaporkan eksodus massal anggota komunitas minoritas Alawite Assad dari kota tersebut.
Ia mengatakan, puluhan ribu orang menuju daerah sepanjang pantai Mediterania Suriah, tempat kaum Alawi, pengikut cabang Islam Syiah, membentuk mayoritas.
"Kami takut dan cemas apa yang terjadi di Hama akan terulang di Homs," kata seorang pegawai negeri sipil yang hanya menyebut namanya sebagai Abbas.
"Kami khawatir mereka (pemberontak) akan membalas dendam kepada kami," kata pria berusia 33 tahun itu.
Hingga minggu lalu, perang di Suriah sebagian besar telah terhenti selama bertahun-tahun, tetapi para analis mengatakan perang itu pasti akan berlanjut lagi karena tidak pernah benar-benar terselesaikan.
Kepala PBB Antonio Guterres mengatakan bahwa gejolak ini mencerminkan "buah pahit dari kegagalan kolektif kronis dari pengaturan de-eskalasi sebelumnya".
Dalam sebuah video yang diunggah daring, pemimpin HTS, Abu Mohammed al-Jolani mengatakan para pejuangnya memasuki Hama untuk "membersihkan luka yang telah berlangsung di Suriah selama 40 tahun", merujuk pada tindakan keras terhadap Ikhwanul Muslimin pada tahun 1982, yang menyebabkan ribuan kematian.
"Saya memohon kepada Tuhan Yang Maha Esa agar ini menjadi penaklukan tanpa balas dendam," imbuhnya.
Dalam pesan berikutnya di Telegram yang mengucapkan selamat kepada "masyarakat Hama atas kemenangan mereka," untuk pertama kalinya ia menggunakan nama aslinya, Ahmed al-Sharaa, dan bukan nama samaran perangnya.
Pertempuran Sengit
Observatorium mengatakan 826 orang, sebagian besar kombatan tetapi juga termasuk 111 warga sipil, telah tewas di Suriah sejak kekerasan meletus minggu lalu.
Ini menandai pertempuran paling sengit sejak 2020 dalam perang saudara yang dipicu oleh penindasan protes prodemokrasi pada tahun 2011.
Kunci keberhasilan faksi oposisi sejak dimulainya serangan minggu lalu adalah pengambilalihan Aleppo, yang dalam lebih dari satu dekade perang tidak pernah sepenuhnya lepas dari tangan pemerintah.
Meski pihak oposisi bersenjata yang maju tidak menemui banyak perlawanan pada awal serangan mereka, pertempuran di sekitar Hama sangat sengit.
Observatory melaporkan 222 orang tewas di provinsi Hama sejak Selasa malam, empat di antaranya warga sipil.
Assad memerintahkan kenaikan gaji prajurit karier sebesar 50 persen, kantor berita negara SANA melaporkan pada hari Rabu, saat ia berupaya memperkuat pasukannya untuk melakukan serangan balasan.
Faksi Oposisi bersenjata berhasil memukul mundur pasukan bersenjata Suriah meskipun pemerintah telah mengirimkan "konvoi militer besar", kata Observatorium.
Hizbullah-Rusia Sibuk Sendiri
Para pemberontak melancarkan serangan mereka di Suriah utara pada tanggal 27 November, hari yang sama ketika gencatan senjata berlaku dalam perang antara Israel dan Hizbullah di negara tetangga Lebanon.
Baik Hizbullah maupun Rusia telah menjadi pendukung penting pemerintahan Assad, tetapi telah terperosok dalam konflik mereka sendiri dalam beberapa tahun terakhir.
Pemimpin Hizbullah Naim Qassem mengatakan pada hari Kamis bahwa para pejuang kelompoknya "akan berada di pihak Suriah dalam menggagalkan tujuan agresi ini semampu kami".
Human Rights Watch memperingatkan pertempuran tersebut "menimbulkan kekhawatiran bahwa warga sipil menghadapi risiko nyata pelanggaran serius di tangan kelompok bersenjata oposisi dan pemerintah Suriah".
HTS Berakar pada cabang Al-Qaeda di Suriah
Kelompok ini telah berupaya untuk memoderasi citranya dalam beberapa tahun terakhir, tetapi para ahli mengatakan kelompok ini menghadapi tantangan dalam meyakinkan pemerintah Barat bahwa mereka telah sepenuhnya meninggalkan jihadisme garis keras.
Amerika Serikat menempatkan ratusan tentara di Suriah timur sebagai bagian dari koalisi yang dibentuk melawan jihadis kelompok ISIS.
Kepala al-Jawlani Dihargai Rp 158 Miliar
Kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS) kini menguasai Aleppo, kota terbesar kedua di Suriah, melalui serangan mendadak yang dipimpin oleh Abu Mohammed al-Jawlani (Abu Mohammed al-Golani).
Al-Jawlani adalah sosok yang pernah membelot dari al-Qaeda dan ISIS.
Dia juga dikenal sebagai pemimpin kelompok penentang pemerintahan Presiden Bashar al-Assad.
Abu Mohammed al-Jawlani, yang dituduh sebagai pelanggar hak asasi manusia, memimpin HTS, yang merupakan jaringan al-Qaeda dan telah dilabeli sebagai organisasi teroris oleh banyak negara.
Pemerintah Amerika Serikat (AS) menawarkan hadiah sebesar $10 juta (sekitar Rp158 miliar) bagi siapa saja yang dapat menangkapnya.
Dikutip dari BBC, identitas asli al-Jawlani menjadi perdebatan.
Dalam wawancara dengan PBS, ia mengaku bernama asli Ahmed al-Sharaa, lahir di Riyadh, Arab Saudi, dan dibesarkan di Damaskus, Suriah.
Namun, laporan lain menyebutkan bahwa ia mungkin lahir di Deir ez-Zor, Suriah Timur, dengan rentang tahun kelahiran yang berbeda-beda, antara 1975 hingga 1981.
Karier Militer dan Kepemimpinan HTS
Al-Jawlani bergabung dengan al-Qaeda di Irak setelah invasi militer koalisi yang dipimpin AS pada 2003.
Ia ditangkap oleh pasukan AS pada 2010 dan dipenjara di Camp Bucca, di mana ia bertemu dengan berbagai kombatan militan.
Baca juga: 4 Pemain Kunci yang Bertempur dalam Perang Suriah: HTS, Loyalis Assad, SNA, dan Pasukan Kurdi
Setelah dibebaskan, ia menjadi komandan kelompok bersenjata Nusra, yang terafiliasi dengan ISIS, sebelum memutuskan hubungan dengan ISIS pada 2013 dan beralih ke al-Qaeda.
Pada 2017, al-Jawlani menggabungkan berbagai kelompok milisi di Suriah untuk membentuk Hayat Tahrir al-Sham dan menjabat sebagai pemimpin.
Di bawah kepemimpinannya, HTS menjadi kelompok dominan di wilayah Idlib dan sekitarnya, yang kini dihuni sekitar empat juta jiwa akibat arus pengungsi.
Sebelum masa peperangan, sekitar 2,7 juta warga tinggal di wilayah itu.
Sejumlah pihak memperkirakan penduduk di daerah tersebut bertambah menjadi sekitar empat juta jiwa lantaran arus masuk pengungsi.
Kelompok al-Jawlani menguasai "Pemerintahan Keselamatan" yang bertindak layaknya otoritas lokal di Provinsi Idlib dengan memberikan layanan kesehatan, pendidikan, serta keamanan.
Pada 2021, al-Jawlani berkata media PBS bahwa pihaknya tidak mengikuti strategi jihad global ala al-Qaeda, melainkan fokus pada upaya menjungkalkan Presiden al-Assad.
AS dan negara-negara Barat pun memiliki tujuan yang sama dengan dirinya.
"Wilayah ini tidak merepresentasikan ancaman keamanan kepada Eropa dan Amerika," katanya.
HTS diketahui menegakkan hukum Islam di wilayah kendalinya, tetapi dengan cara yang lebih longgar dibanding kelompok-kelompok jihad lainnya.
Kelompok tersebut juga secara terbuka menjalin hubungan dengan komunitas Kristen dan kelompok non-Muslim lain.
Hal ini membuat HTS sempat dikritik kelompok jihad lain karena dianggap terlalu moderat.
Sementara itu, organisasi HAM menuduh HTS melakukan penindasan terhadap aksi protes dan telah melakukan pelanggaran HAM. Namun al-Jawlani membantah tuduhan ini.
HTS dikategorikan sebagai organisasi teroris oleh sejumlah negara Eropa, Timur Tengah, serta Dewan Keamanan PBB.
(oln/ndtv/*)