News

Bisnis

Super Skor

Sport

Seleb

Lifestyle

Travel

Lifestyle

Tribunners

Video

Tribunners

Kilas Kementerian

Images

Konflik Suriah

Analisis Sorot Runtuhnya Rezim Assad dan Pengaruhnya Terhadap Ukraina

Penulis: Andari Wulan Nugrahani
Editor: Bobby Wiratama
AA

Text Sizes

Medium

Large

Larger

Foto Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Suriah Bashar al-Assad. Runtuhnya rezim Assad menimbulkan banyak spekulasi, terutama mengenai penyebab utama kejatuhannya.

TRIBUNNEWS.COM - Ketika rezim diktator Suriah, Bashar al-Assad, runtuh, pengaruh Rusia di Timur Tengah tampak memudar.

Peristiwa ini terjadi saat Rusia menghadapi perang habis-habisan di Ukraina, yang membuatnya tidak mampu mencegah jatuhnya sekutu utamanya di kawasan tersebut.

Kejadian ini menimbulkan sejumlah pertanyaan mengenai masa depan Rusia dan dampaknya terhadap Ukraina.

Runtuhnya rezim Assad menimbulkan banyak spekulasi, terutama mengenai penyebab utama kejatuhannya, Kyiv Independent melaporkan.

Neil Quilliam, pakar Timur Tengah di Chatham House, mengungkapkan bahwa kecepatan serangan pemberontak sangat mengejutkan dan menunjukkan bahwa lembaga negara dan militer Suriah telah dikosongkan.

"Rezim tersebut lebih berfokus pada memperkaya diri sendiri daripada menyediakan layanan bagi penduduknya," katanya.

David Butter, juga dari Chatham House, menyoroti sifat brutal dan korup dari pemerintahan Assad sebagai faktor kunci.

Ia menyatakan bahwa Assad senang mengeksploitasi ekonomi perang demi keuntungan untuk lingkaran dalamnya.

Selain itu, menurut Máté Szalai, seorang peneliti di Institut Clingendael, kelemahan luar biasa dari kekuatan militer Assad dan moral yang rendah di kalangan tentara juga berkontribusi pada keruntuhan tersebut.

"Rezim tersebut runtuh karena negara dan penduduknya mengalami pengabaian selama satu dekade," tambahnya.

Runtuhnya rezim Assad menjadi pukulan besar bagi pengaruh Rusia di Timur Tengah.

Baca juga: Runtuhnya Rezim Assad di Suriah Guncang Pasar Minyak, Harga WTI Diproyeksi Anjlok ke Level Terendah

Quilliam mencatat bahwa Rusia, yang dulunya dihormati sebagai sekutu yang dapat diandalkan, kini kehilangan reputasi tersebut.

"Dengan demikian, pengaruhnya akan berkurang," ujarnya.

Rusia dan Iran, yang dulunya merupakan sekutu kuat Assad, kini mulai kehilangan kepercayaan padanya sebagai mitra keamanan.

"Baik Rusia maupun Iran saat ini kewalahan karena perang mereka masing-masing dengan Ukraina dan Israel," jelas Quilliam.

Foto Presiden Rusia Vladimir Putin dan Presiden Suriah Bashar al-Assad

Kelemahan aliansi ini menciptakan celah besar dalam pertahanan Assad, memungkinkan pemberontak untuk mengambil alih dengan cepat.

Kejatuhan rezim Assad dipandang oleh beberapa analis sebagai potensi penguat posisi Ukraina dalam perundingan damai dengan Rusia.

Quilliam percaya bahwa ini memberi keyakinan baru kepada pihak-pihak yang menentang perang Rusia di Ukraina bahwa Rusia dapat dikalahkan.

"Keluarnya Rusia dari Suriah menunjukkan bahwa Rusia tidaklah tak terkalahkan," katanya.

Walaupun demikian, dampak langsung dari keruntuhan Assad terhadap perundingan damai di Ukraina masih belum jelas.

Menurut Sascha Bruchmann, analis militer di Institut Internasional untuk Studi Strategis, penting bagi perubahan persepsi di seluruh dunia untuk terjadi agar dampak ini dapat terlihat dalam bentuk perubahan nyata dalam negosiasi.

Rusia kini dihadapkan pada risiko besar kehilangan pangkalan militer penting di Suriah, termasuk pangkalan angkatan laut Tartus dan pangkalan udara Khmeimim.

TASSmelaporkan bahwa pemberontak telah mengambil alih provinsi Tartus dan Latakia, yang menjadi lokasi pangkalan-pangkalan tersebut.

"Sulit untuk membayangkan bahwa Rusia akan mampu mempertahankan pangkalannya," kata Quilliam.

Dalam menghadapi situasi ini, Rusia mulai menarik aset angkatan laut dan militernya dari Suriah.

Erwin van Veen, pakar Timur Tengah di Clingendael Institute, mencatat bahwa penarikan ini dilakukan untuk menghindari skenario buruk seperti penarikan mendadak yang terjadi di Kabul.

Meskipun ada upaya untuk merundingkan keamanan, analis menyatakan bahwa mempertahankan pangkalan-pangkalan tersebut akan menjadi tantangan besar bagi Rusia.

(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)

Dapatkan Berita Pilihan
di WhatsApp Anda

Berita Populer

Berita Terkini