Laporan Wartawan Tribunnews.com Namira Yunia
TRIBUNNEWS.COM, BRAZZAVILLE - Penyakit misterius yang juluki "Penyakit X" tengah merebak di Republik Demokratik Kongo.
Tercatat, penyakit ini telah menewaskan sedikitnya 143 orang dalam kurun waktu beberapa pekan terakhir.
Penyakit yang masih belum diketahui asal usulnya ini pertama kali terdeteksi tim ilmuwan dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) pada akhir Oktober 2024 di provinsi Kwango, yang berada di bagian barat daya negara Afrika Tengah.
Namun penyakit ini kemudian menyebar luas di wilayah Kongo. Kementerian Kesehatan Masyarakat, Kebersihan, dan Jaminan Sosial DRC mencatat antara tanggal 10 hingga 25 November, sekitar 380 orang dilaporkan telah terjangkit penyakit misterius, sementara 27 orang diketahui meninggal di rumah sakit, dan 44 orang meninggal di rumah.
Baca juga: Penyakit Misterius Mematikan Muncul di Kongo, Gejalanya Mirip Sindrom Flu, Ganggu Pernapasan
Sementara menurut laporan WHO pada per tanggal 8 Desember, sekitar 406 kasus penyakit telah tercatat di Provinsi Kwango, dengan jumlah kematian sebenarnya di wilayah tersebut mencapai 143 korban jiwa yang sebagian besar didominasi anak-anak berusia di bawah 5 tahun.
“Jumlah kematian sebenarnya di wilayah tersebut sulit dipastikan, namun beberapa laporan menyebutkan sebanyak 143 orang telah meninggal,” kata tim ilmuwan WHO, mengutip dari CBS News.
Gejala Penyakit Misterius di Kongo
Menteri kesehatan provinsi Apollinaire Yumba mengatakan penyakit misterius yang menyerang negaranya mirip seperti gejala flu, menyebabkan penderitanya mengalami demam, sakit kepala, batuk, pilek, dan nyeri tubuh.
"Ini adalah sindrom yang menyerupai sindrom flu dengan gangguan pernapasan pada beberapa anak dan pada beberapa orang yang telah meninggal," kata menteri tersebut.
Hal serupa juga turut dikonfirmasi para dokter setempat, mereka menjabarkan bahwa penyakit ini mirip dengan infeksi pernapasan. Namun sebagian besar masyarakat yang terinfeksi merupakan penderita kekurangan gizi.
Sejauh ini tim WHO telah mengumpulkan sampel untuk pengujian laboratorium, guna menganalisa klinis yang lebih rinci dari kasus yang terdeteksi serta menyelidiki dinamika penularan.
Akan tetapi karena akses ke wilayah tersebut sulit diakses pihak medis akibat jalan dan infrastruktur yang rusak alhasil proses pengujian sedikit terhambat.
“Daerah tempat wabah terjadi merupakan daerah terpencil, terletak sekitar 48 jam perjalanan darat dari ibu kota Kinshasa, Tidak ada laboratorium yang berfungsi di wilayah tersebut, dan infrastruktur komunikasi terbatas mempersulit situasi,” kata WHO.