TRIBUNNEWS.COM - Baru-baru ini, Presiden Turki, Recep Tayyip Erdogan, mengumumkan negaranya akan membuka perbatasan baru untuk pengungsi Suriah yang ingin kembali ke tanah air mereka.
Bnyak warga Suriah berbondong-bondong menuju penyeberangan perbatasan untuk mencoba kembali ke Suriah.
Pemandangan di perbatasan saat ini berbeda dari beberapa tahun terakhir, di mana biasanya dijumpai antrean panjang orang-orang yang melarikan diri dari Suriah menuju Turki.
Sekarang, untuk pertama kalinya, mereka tampak ingin pulang.
Fenomena ini menunjukkan perubahan yang signifikan dalam dinamika pengungsi Suriah.
Menurut pengamatan di lapangan, pemerintah Turki berupaya memfasilitasi kepulangan pengungsi dengan menambah jumlah titik perbatasan.
Ini memungkinkan pengungsi untuk diperiksa dan diizinkan masuk kembali dengan lebih mudah.
Dengan dibukanya penyeberangan perbatasan baru, semakin banyak pengungsi yang merasa memiliki kesempatan untuk kembali ke rumah mereka.
Langkah ini tentunya membawa harapan baru bagi banyak pengungsi Suriah yang telah lama berada di Turki.
Kembalinya mereka ke tanah air setelah bertahun-tahun bisa jadi memberikan kesempatan untuk memulai hidup baru di tempat yang lebih familiar.
Namun, meski banyak yang ingin kembali, tantangan tetap ada.
Baca juga: Negara-negara Uni Eropa Hentikan Proses Suaka bagi Warga Suriah Setelah Jatuhnya Bashar Assad
Keamanan, stabilitas, dan kondisi di Suriah masih menjadi pertimbangan utama bagi mereka yang ingin pulang.
Keputusan untuk kembali bukanlah hal yang sepele, dan setiap pengungsi tentu memiliki pertimbangan yang mendalam.
Tujuan Turki Dukung Pasukan Pemberontak di Suriah
Selama lebih dari dua bulan, Erdogan dan sekutunya, Devlet Bahceli, hampir secara eksklusif membahas tentang peralihan kekuasaan di Timur Tengah.
Diskusi ini terkait erat dengan dampaknya bagi Turki, khususnya mengenai kemungkinan perubahan yang bisa menguntungkan kelompok Kurdi di Suriah.
Sejak dimulainya perang saudara di Suriah, kelompok Kurdi telah berhasil menguasai kawasan timur laut yang dikenal sebagai Rojava.
Mereka bahkan mendirikan pemerintahan sendiri, yang telah lama menjadi sumber kekhawatiran bagi Turki.
Dalam pandangan Turki, kekuatan kelompok Kurdi ini menjadi "duri dalam daging" yang dapat mengancam stabilitas dan keamanan negara mereka.
Di sisi lain, penguasa Suriah, Bashar al-Assad, saat ini berada dalam posisi yang relatif lemah.
Pendukung utama Assad seperti Rusia, Iran, dan Hizbullah di Lebanon sedang menghadapi tekanan yang signifikan.
Rusia, misalnya, saat ini lebih fokus pada situasi di Ukraina untuk mencegah kehilangan wilayah lebih lanjut.
Begitu juga dengan Iran dan Hizbullah yang melemah akibat serangan-serangan Israel.
Sementara itu, posisi Amerika Serikat di bawah pemerintahan Donald Trump menjadi semakin tidak pasti.
Apakah Trump akan menarik pasukan AS dari Irak dan Suriah, sesuai dengan motonya "America First", masih belum jelas.
Namun, para pemberontak Suriah memanfaatkan kesempatan ini.
Pada Rabu (27/11/2024), mereka melancarkan serangan besar-besaran yang mengakibatkan penaklukan kota terbesar kedua, Aleppo, hampir tanpa perlawanan dari pasukan pemerintah Assad.
Saat ini, mereka bergerak untuk menguasai kota-kota tetangga lainnya dengan dipimpin oleh milisi Islam Hayat Tahrir al-Sham (HTS), yang sebelumnya merupakan cabang dari kelompok teroris Al-Qaeda.
Pakar Timur Tengah, Michael Lders, memberikan pandangan tentang dukungan Turki terhadap para pemberontak.
Ia mengatakan kepada radio Deutschlandfunk, Turki mengetahui rencana serangan tersebut dan mendukungnya secara militer.
Para pemberontak Suriah, menurutnya, jelas membutuhkan senjata yang sesuai untuk melaksanakan rencana mereka.
Dengan mempertimbangkan lokasi geografis, hanya Turki yang mampu menyediakan persenjataan yang dibutuhkan.
Dengan demikian, dukungan Turki bagi pasukan pemberontak di Suriah berkaitan erat dengan kepentingan nasional mereka untuk mencegah kebangkitan kekuatan Kurdi serta mengambil keuntungan dari posisi lemah yang dihadapi pemerintah Assad saat ini.
(Tribunnews.com, Andari Wulan Nugrahani)