Izin ekspor senjata Jerman mencatat rekor baru pada tahun 2023 dengan mencapai nilai 12 miliar euro. Tahun 2024 juga ditandai dengan maraknya ekspor senjata. Hal ini terutama disebabkan oleh ekspor senjata ke mitra NATO dan Uni Eropa, serta ke Ukraina. Tidak hanya itu, senjata dari Jerman juga diekspor ke negara-negara yang belum pernah disuplai sebelumnya. Oleh karena itu, kedua gereja terbesar di Jerman mengkritik kebijakan Jerman mengenai ekspor senjata.
"Pemerintah Jerman telah menjauh dari tujuan yang dinyatakannya, yaitu kebijakan ketat terhadap ekspor senjata,” jelas Max Mutschler dari Pusat Studi Konflik Internasional Bonn, BICC di Berlin pekan ini. Bersama perwakilan Gereja Protestan dan Katolik, Mutschler memaparkan laporan ekspor senjata terbaru dari Konferensi Bersama Gereja dan Perkembangan, GKKE.
Selama ini, ekspor senjata Jerman punya aturan ketat. Jika sebuah perusahaan senjata Jerman ingin menjual senjata ke luar negeri, maka harus mendapat persetujuan lebih dulu dari pemerintah Jerman. Menurut pakar senjata Mutschler, pemerintah di Berlin menyetujui ekspor ke "negara-negara yang sangat bermasalah seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar” dalam sembilan bulan pertama tahun 2024. Dia mengatakan bahwa ekspor ini harus dihentikan.
"Ekspor senjata ke kediktatoran ini berkontribusi terhadap penindasan internal terhadap populasi negara-negara tersebut dan memicu perlombaan senjata di seluruh kawasan,” kata laporan ekspor senjata.
Jerman: 'Mitra senjata penting bagi Israel'
Laporan GKKE juga mencermati ekspor senjata Jerman ke Israel, dan mencatat adanya "ambivalensi" dalam kebijakannya sendiri. Pada tahun 2023, pengiriman senjata ke Israel meningkat tajam menjadi senilai 326,5 juta euro. Jumlah ini sekitar 10 kali lebih banyak dibandingkan tahun 2022 dan termasuk 3.000 senjata anti-tank genggam dan 500.000 butir amunisi untuk senjata kecil. Banyak dari izin tersebut diberikan setelah organisasi teroris Islam Hamas melancarkan serangan teror ke Israel pada 7 Oktober 2023.
"Jerman adalah mitra persenjataan yang penting bagi Israel, terutama untuk kapal perang dan kapal selam yang memperkuat kemampuan pertahanan Israel,” jelas Karl Jüsten, ketua GKKE yang beragama Katolik. Dia menekankan "tanggung jawab khusus Jerman atas keamanan Israel dan haknya untuk membela diri."
Namun Israel juga harus mematuhi hukum kemanusiaan internasional. Menurut aturan di Jerman, persenjataan dari Jerman tidak boleh digunakan untuk menyerang sasaran sipil. Karl Jüsten memperingatkan, pemerintah Jerman tidak boleh menyetujui ekspor senjata ke Israel jika ada kecurigaan bahwa senjata Jerman itu akan digunakan untuk melakukan pelanggaran serius terhadap hukum kemanusiaan internasional.
"Senjata seperti amunisi tank tidak boleh diekspor ke Israel jika pemerintah Israel tidak memberikan prioritas yang jauh lebih tinggi terhadap keselamatan penduduk sipil di Gaza.”
Pengiriman senjata Jerman ke Israel telah menjadi subyek beberapa kasus pengadilan nasional dan internasional. Nikaragua menuduh Jerman membantu dan bersekongkol dalam genosida di Gaza melalui pengiriman senjatanya ke Israel dan mengajukan pengaduan ke Pengadilan Kriminal Internasional di Den Haag. Pada akhir bulan April, para hakim menolak permintaan mendesak untuk segera menghentikan ekspor senjata Jerman ke Israel. Beberapa permintaan ke pengadilan Jerman untuk menghentikan persetujuan ekspor senjata Jerman ke Israel juga gagal.
Ekspor senjata Jerman ke Turki
GKKE juga mengkritik peningkatan pengiriman senjata ke Turki. Tahun ini, pemerintah Jerman telah menyetujui ekspor senjata ke Turki senilai lebih dari 230 juta euro, rekor tertinggi sejak tahun 2006.
Sejak pasukan Turki memasuki Suriah pada tahun 2016, pemerintah Jerman mengambil pendekatan lebih hati-hati terhadap pemerintah Turki. Tetapi pemerintahan saat ini yang dipimpin oleh Kanselir Olaf Scholz telah menyimpang dari jalur ini, antara lain dibuktikan dengan ekspor torpedo dan rudal buatan Jerman ke Turki.
Max Mutschler berpendapat bahwa senjata tidak boleh dipasok ke mitra NATO jika digunakan untuk perang atau pelanggaran hak asasi manusia. Operasi Turki di perbatasan dengan Suriah dan Irak utara merupakan "serangan yang melanggar hukum internasional, terutama di wilayah Kurdi,” termasuk terhadap sasaran sipil. "Inilah sebabnya kami juga sangat kritis terhadap ekspor senjata ini,” katanya.
Ada dua poin lebih lanjut yang menjadi dasar penilaian negatif GKKE terhadap catatan ekspor senjata: pemerintah Jerman belum mengesahkan undang-undang pengendalian ekspor senjata yang dijanjikannya atau melakukan upaya apa pun untuk memastikan pelaporan ekspor yang transparan dan tepat waktu.
Diadaptasi dari artikel DW bahasa Jerman