Acara selametan dengan aneka makanan dan sesajen yang komplet khas Jawa (seperti kupat lepet, ingkung ayam, dan beragam kue yang disebut "jadah pasar”) selalu mewarnai setiap ada acara acara sosial-kemasyarakatan.
Yang menarik dari upacara ritual yang dilakukan oleh sebagian umat Islam di Blora (khususnya "Islam nonsantri”) yang cukup berbeda dengan daerah lain di Jawa (dan Indonesia secara umum), pemimpin upacara dan doa (dalam antropologi disebut "ritual specialist”) bisa seorang perempuan meskipun ada peserta laki-laki.
Adapun bahasa yang digunakan untuk berdoa adalah campuran bahasa Arab dan Jawa, meskipun pelafalan bahasa Arab mereka jauh dari fasih atau sempurna sesuai dengan kaedah dan tata bahasa Arab (sebut saja "bahasa Arab-Jawa”). Lain halnya jika pemimpin doa adalah santri atau kiai NU, maka bahasa Arab yang mereka lafalkan bisa dipastikan sangat fasih dan sesuai dengan tata bahasa Arab.
Sementara itu busana yang mereka kenakan saat mengikuti upacara ritual juga beraneka ragam. Misalnya, perempuan tidak selalu mengenakan hijab atau kerudung dan "busana muslimah” berupa gaun panjang (kecuali warga santri NU).
Untuk laki-laki busana yang digunakan biasanya celana, kemeja, sarung, dan terkadang dilengkapi dengan peci hitam sebagai penutup kepala. Sedangkan busana upacara ritual di kalangan Sedulur Sikep Samin biasanya didominasi warna hitam. Bahkan jika upacara ritual dilakukan di sawah atau ladang, pakaian yang mereka kenakan lebih simpel lagi karena menggunakan "busana kerja.”
Harmoni keislaman dan kejawaan
Dari uraian singkat di atas dapat ditarik benang merah bahwa keislaman dan kejawaan bisa bersanding dengan baik dan harmonis di Blora tanpa ada upaya untuk saling menundukkan atau menegasikan.
Dalam konteks "Islam Blora,” identitas keislaman dan kejawaan menjadi lumer dan lebur sehingga tidak mudah untuk diurai dan dikenali lagi mana unsur yang lebih dominan di antara keduanya karena relasi keduanya bukan dalam bentuk "superordinat-subordinat” yang saling menundukkan satu sama lain, melainkan "koordinat” di mana elemen keislaman dan kejawaan bersanding sejajar dan saling menghormati keunikan masing-masing tradisi. Dengan kata lain, baik keislaman maupun kejawaan tidak pongah atau arogan harus menaklukkan unsur-unsur asing.
Selain itu, bentuk keislaman yang luwes yang dipraktikkan kaum muslim Blora, khususnya kelompok Islam NU dan "wong nasional” (sebut saja, "Islam nasional”) yang dominan di daerah tersebut berdampak pada relasi harmonis antara umat Islam dengan umat lain seperti Kristen, Buddha, Hindu, Kejawen, Abangan, Samin, dan lainnya.
Corak keagamaan dan keberagamaan yang luwes inilah yang diperlukan bagi bangsa supermajemuk seperti Indonesia. Tanpa itu, konflik dan kekerasan antarkelompok masyarakat dan agama, baik agama lokal maupun transnasional, sulit dihindari.
Sumanto Al Qurtuby
Pendiri Nusantara Institute dan Pengajar King Fahd University of Petroleum & Minerals