TRIBUNNEWS.COM - Menteri Luar Negeri sementara Suriah, Asaad Al-Shaibani, memperingatkan Iran agar tidak menyebarkan kekacauan di Suriah.
Ia juga menyerukan Iran untuk menghormati keinginan rakyat dan kedaulatan serta integritas negaranya.
“Iran harus menghormati keinginan rakyat Suriah dan kedaulatan serta keselamatan negara,” tulis Asaad Al-Shaibani melalui akunnya di platform X, Selasa (24/12/2024).
“Kami memperingatkan mereka agar tidak menyebarkan kekacauan di Suriah, dan kami juga menganggap mereka bertanggung jawab atas dampak dari pernyataan baru-baru ini," lanjutnya.
Sebelumnya, juru bicara Kementerian Luar Negeri Iran, Ismail Baghaei, mengatakan tidak ada kontak langsung antara pemerintah negaranya dan pemerintahan baru Suriah yang dipimpin Ahmed Al-Sharaa alias Abu Muhammad Al-Julani, pemimpin aliansi oposisi bersenjata Hayat Tahrir al-Sham (HTS).
Ismail Baghaei mengklaim kehadiran militer Iran sebelumnya di Suriah bertujuan untuk memerangi terorisme.
"Kami (Iran) bertukar pandangan dengan Turki mengenai Suriah. Masing-masing pihak yang terkait dengan perkembangan di kawasan dan Suriah memiliki versi masing-masing mengenai kejadian tersebut, namun kita tidak perlu menerima semua narasi ini,” kata Ismail Baghaei, Senin (23/12/2024).
Dia mengatakan tidak ada lagi warga negara Iran di Suriah setelah kejadian baru-baru ini, dan merekomendasikan agar warga negaranya tidak pergi ke Suriah karena situasi yang tidak jelas di sana.
Setelah menggulingkan rezim Assad, Abu Muhammad Al-Julani menjadi pemimpin de facto Suriah ketika negara itu menuju masa transisi, seperti diberitakan Al Jazeera.
Ia menugaskan Perdana Menteri Suriah, Muhammad Al-Bashir, untuk membentuk pemerintahan baru dan memimpinnya untuk mengatur masa transisi hingga Maret 2025.
Selain itu, Abu Muhammad Al-Julani juga menunjuk sejumlah orang untuk mengisi jabatan dalam pemerintahan sementara.
Baca juga: Faksi-Faksi di Suriah Sepakat Bubar, Siap Bersatu di Bawah Kementerian Pertahanan
Jatuhnya Rezim Assad di Suriah
Rezim Assad dari Partai Ba'ath runtuh pada 8 Desember 2024, setelah HTS mengumumkan keberhasilannya merebut ibu kota Suriah, Damaskus.
Sebelumnya, HTS memulai serangannya terhadap militer rezim Assad pada 27 November 2024 di Idlib, hingga berhasil merebut kota Aleppo, Hama, Homs, dan Damaskus dalam waktu kurang dari dua minggu.
Setelah digulingkan, Assad dan keluarganya dikabarkan kabur ke Rusia, tempat mereka memperoleh suaka.
Runtuhnya rezim Assad adalah buntut dari perang saudara di Suriah yang berlangsung sejak 2011 ketika rakyat Suriah menuntut turunnya Presiden Suriah Bashar al-Assad.
Iran mulai membantu rezim Assad pada 2011 dan Rusia mulai terlibat pada 2015.
Pertempuran sempat meredup pada 2020 setelah Rusia dan Turki menengahi perjanjian gencatan senjata antara rezim Assad dan oposisi di Idlib, sebelum meletus lagi pada 27 November lalu.
Bashar al-Assad berkuasa sejak 2000, setelah meneruskan kekuasaan ayahnya, Hafez al-Assad yang berkuasa pada 1971-2000.
(Tribunnews.com/Yunita Rahmayanti)