"Semua juga ada waktunya, Ibu. Enggak usah terlalu kita ingin menghakimi orang lah. Ya sadari juga bahwa Pak Jokowi juga banyak yang mencintai dan banyak jasanya bagi bangsa ini dan juga banyak jasanya bagi Partai PDI Perjuangan," katanya.
BBC News Indonesia telah menghubungi Effendi Simbolon untuk meminta konfirmasi terkait pesannya kepada Megawati tersebut, namun hingga berita ini diterbitkan yang bersangkutan tidak memberikan respons.
Suara internal PDIP pecah?
Sejauh ini tidak nampak ke permukaan adanya faksi di internal PDIP.
Tapi jauh sebelum kasus Harun Masiku yang menyeret Hasto dan Yasonna bergulir, seorang petinggi PDIP mengungkap adanya tiga faksi di internalnya.
Faksi-faksi ini bersilang pendapat tentang posisi PDIP dalam pemerintahan Prabowo-Gibran.
Faksi ini terbagi menjadi yang menginginkan segera merapat, faksi yang menolak, dan faksi yang melihat perkembangan dulu.
"Ada yang ingin segera masuk. Ada yang kepingin masuknya nanti saja, kita lihat perkembangannya dulu kayak apa. Kemudian ada yang mengatakan sudahlah enggak usah masuk. Jadi ada tiga kluster yang sedang berdinamika," kata Bambang Wuryanto, Selasa (15/10).
Namun dengan perkembangan terkini, Politikus PDIP Guntur Romli mengeklaim tidak ada perpecahan di internal partainya.
"Bahwa PDIP perjuangan semakin ditekan, semakin melawan, dan tetap dalam koridor hukum," katanya.
Selain itu, kata dia, pada kongres PDIP mendatang "hampir bisa dipastikan" akan ada aklamasi untuk memilih kembali Megawati sebagai ketua umum PDIP.
Apakah PDIP akan mengambil sikap oposisi?
Itu juga akan diputuskan di kongres PDIP.
"Tapi kalau kita melihat suasananya seperti ini kan, ya PDIP akan tetap bersama rakyat lah, melakukan kritik-kritik yang cerdas," jelas Guntur.
Apakah cukup 'mengawut-awut' PDIP?
Banyak orang bertanya-tanya tentang apakah kasus yang menjerat dua pentolan PDIP sebagai politisasi kasus atau murni kasus hukum.
Pertanyaan serupa diutarakan oleh analis Komunikasi Politik sekaligus pendiri Lembaga Survei Kelompok Diskusi dan Kajian Opini Publik Indonesia, Hendri Satrio.
Hal yang membuatnya bertanya adalah kenapa kasus ini baru bergulir sekarang, di satu sisi.
Di sisi lain, penetapan tersangka Hasto dan pencekalan Yasonna "terlalu lemah untuk bisa mengobrak-abrik PDIP perjuangan yang memang solid dan kokoh".
"Kasus ini harus segera selesai, supaya pemerintah Prabowo nggak kebawa-bawa. Karena pemerintahan Prabowo baru mulai," kata Hendri.
Ia berharap semua pihak tidak mencampuradukan masalah politik dengan hukum.
"Buat rakyat itu jadi membingungkan," katanya.
Sementara itu, peneliti senior dari Pusat Riset Politik BRIN, Profesor Firman Noor melihat memang ada kemungkinan upaya mendongkel Megawati dari kursi ketua umum.
Tapi menurutnya, langkah tersebut tidak mudah. Loyalis PDIP ia sebut sudah cukup teruji sebagaimana peristiwa 27 Juli 1996 atau Kudatuli.
"PDIP ini akan tetap menjadi magnet kekuatan kaum Marhaen kalau memang dipimpin oleh trah Sukarno, sehingga mempertahankan Megawati itu sudah mempertahankan jati diri," kata Firman Noor.
Ia juga menilai petinggi PDIP yang terjerat hukum dapat digantikan oleh loyalis Megawati yang lainnya, sehingga tidak signifikan mempengaruhi kekuatan partai.
PDIP pasang kuda-kuda dimulai dari pemecatan Jokowi
PDIP sudah mengambil jurus pencegahan upaya mendongkel Megawati dari kursi ketua umum, kata analis politik dari Universitas Padjajaran, Firman Manan—yang tidak memiliki hubungan dengan Firman Noor.
Langkah antisipasi ini melalui pemecatan Jokowi, Gibran dan Bobby serta puluhan kader lainnya.
Menurut PDIP, mereka dipecat karena bermain dua kaki selama Pilpres dan Pilkada 2024.
Pemecatan ini bertujuan mengurangi gangguan pada kongres mendatang sebagai wadah mengambil keputusan strategis dan pemilihan ketua umum.
Pemecatan juga bermakna peringatan bagi kader dan pengurus PDIP agar tetap "berada dalam satu barisan", serta menyaring kader-kader yang masih loyal kepada Jokowi.
"Itu [pemecatan] menurut saya justru bagian dari konsolidasi partai untuk kemudian mengantisipasi terjadinya upaya-upaya pendongkelan [Megawati]," kata Firman.
Kejutan-kejutan politik episode selanjutnya
Firman menyebut tahun depan pada 2025 akan ada banyak kemungkinan perubahan peta politik nasional yang memicu kejutan-kejutan.
Ia melihat relasi tiga tokoh politik, Megawati-Prabowo-Jokowi, akan menentukan konstelasi politik nasional.
Pertama, sikap Megawati terhadap pemerintahan Prabowo-Gibran. Hanya ada dua kemungkinan: merapat atau beroposisi.
Sejauh ini hubungan Megawati dan Prabowo disebut "tidak pernah ada masalah", bahkan wacana pertemuan kedua tokoh terus mengemuka beberapa bulan belakangan.
Di sisi lain, Prabowo juga menyampaikan dalam pidatonya bahwa ia akan merangkul semua pihak.
"Yang akan jadi kejutan kalau ternyata PDIP nanti mengambil sikap untuk tidak menjadi oposisi… menurut saya akan mengubah konstelasi politik di level nasional," kata Firman.
Kedua, sikap Prabowo dalam hubungan dengan Megawati dan Jokowi.
Selain berelasi baik dengan Megawati, Prabowo juga masih beberapa kali makan bareng dengan Jokowi—meski dibayang-bayangi polemik fufufafa.
Jika Prabowo merangkul PDIP ke dalam pemerintahan, "maka bukan tidak mungkin itu justru mengganggu relasi antara presiden dengan Pak Jokowi," kata Firman.
Ketiga, sikap Jokowi yang sejauh ini diketahui pecah kongsi dengan PDIP, tapi masih menjalin hubungan baik dengan Prabowo.
Selepas dipecat dari partai banteng, Jokowi punya dua kemungkinan yang mengejutkan: bergabung dengan partai politik lain, atau membangun partai baru.
"Dia (Jokowi) kelihatannya tetap akan berupaya menjadi aktor yang signifikan dalam politik nasional," kata Firman.
Tapi, ada kemungkinan terakhir, tapi "sulit dibayangkan" yaitu terjadi rekonsiliasi antara Megawati dengan Jokowi.
"Agak sulit membayangkan ya, paling tidak untuk beberapa waktu ke depan," kata Firman.