Pertama, memiliki status hukum yang jelas. Bisa berbadan hukum atau memiliki rekomendasi resmi dari lembaga terpercaya.
Kedua, calon mitra diharapkan bisa berkontribusi secara konsisten baik dalam bentuk pendanaan, dukungan fasilitas, maupun sumber daya manusia.
Ketiga, pihak yang mendaftar harus memiliki misi yang sejalan dengan BGN dalam menciptakan masyarakat sehat melalui gizi yang optimal.
Keempat, calon mitra perlu memberikan informasi detail tentang area operasi dan komunitas yang akan menjadi penerima manfaat program, seperti sekolah atau panti sosial.
Seorang pengusaha katering di Tangerang Selatan, Wati, bercerita pernah ditawari oleh seorang koleganya untuk bergabung dalam program anyar ini sekitar Oktober tahun lalu.
Waktu itu, dia diminta untuk memegang wilayah tersebut.
"Bilangnya sehari harus menyiapkan 3.000 sampai 3.500 porsi makanan. Kan enggak mungkin saya sendirian, jadi disarankan untuk mengajak beberapa katering, saya yang akan membawahi," ujar Wati kepada BBC News Indonesia.
"Kalau setuju, akan ada test food dan tanda tangan kontrak."
Pengusaha katering ini lantas menanyakan soal mekanisme pembayarannya. Tapi jawaban koleganya itu bikin dia mundur.
Pasalnya dia harus keluar modal sendiri dulu untuk membeli bahan baku, memasak, mengemas, menggaji karyawan, hingga mendistribusikan ke sekolah-sekolah yang dituju.
Baginya, sistem seperti itu tidak masuk akal.
Apalagi dari harga MBG per porsi kala itu Rp15.000, pihak katering harus menyediakan makanan bergizi senilai Rp13.500.
"Jadi pembayarannya itu kita modal sendiri dulu untuk belanja semua, setelah dikirim di hari pelaksanaan, baru uangnya [pembayaran] bisa dicairkan."
"Belum kalau saya membawahi puluhan katering dengan modal sendiri, ya enggak sanggup. Apalagi kalau ada apa-apa dengan pemerintah, enggak bayar, otomatis saya nanggung dong."
"Kan risikonya besar sekali ya kelihatannya, serem saya bilang."
Pengusaha katering ini bilang sepanjang menggeluti dunia jasa boga selama enam tahun, pembayaran dari pihak pemesan biasanya akan dilakukan di awal.
Tujuannya mencegah adanya kerugian jika ada pihak yang membatalkan secara sepihak.
"Saya juga bukan katering besar yang modalnya ada gitu. Kalau modalnya Rp1 juta atau Rp2 juta sih oke ya, tapi 3.000 porsi dengan modal sendiri, berat deh. Buat cash flow [arus kas] susah."
Perempuan paruh baya ini juga mengaku bingung dengan harga Rp13.500 harus menyediakan makanan bergizi.
Pengalamannya menyiapkan bekal atau pesanan untuk anak-anak sekolah saja dipatok harga Rp22.500 per porsi.
Isinya nasi, sayur, lauk ayam goreng mentega, santapan tambahan seperti tempe goreng, dan snack -yang dikemas untuk sekali buang.
"Saya bilang Rp13.000 dapat apa? Susu kemasan kecil aja Rp3.000 paling murah. Belum lagi harga bahan baku naik semua."
'Saya tidak ambil untung besar karena ini demi kemanusiaan'
Di Makassar, Sulawesi Selatan, Yayasan Yasika Centre Indonesia, terpilih menjadi mitra program makan bergizi gratis di sana.
Ketika ditemui BBC News Indonesia pada Jumat (03/01), beberapa pekerja sedang sibuk-sibuknya mempersiapkan keperluan untuk membuat ribuan porsi makanan.
Ketua yayasan, Aditia, bercerita pihaknya sudah satu bulan lebih mempersiapkan perlengkapan dapur, bahan-bahan makanan yang diperlukan, termasuk limbah sisa makanan.
Di dapur seluas 30x10 meter persegi ini, tampak tempat makan berbahan stainless steel bertumpuk dan lima lemari pendingin berjejer.
Aditia mengaku tertarik menjadi mitra program ini karena merasa tertantang dan sudah memiliki pengalaman di bidang katering.
Dulu, dia pernah bekerja sebagai penyedia makanan katering di salah satu perusahaan tambang. Di situ standar yang ditetapkan, klaimnya, jauh lebih rumit.
Di pertambangan, katanya, ia sudah biasa mempersiapkan 25.000 sampai 35.000 porsi per hari untuk karyawan.
"Nah ada program ini, artinya saya tidak perlu lagi merantau ke luar Makassar," ucapnya.
Untuk program makan bergizi gratis ini, Aditia diminta menyiapkan 3.500 porsi makanan setiap hari. Dengan jumlah 50 karyawan, ia yakin bisa memenuhi permintaan Badan Gizi Nasional (BGN).
Adapun soal pemenuhan gizi dalam makanan, sudah ada ahli gizi yang disiapkan oleh BGN dengan mempertimbangkan usia anak yang disasar seperti TK, SD, SMP, dan SMA di Kecamatan Manggala.
"Jadi sudah ada ahli gizi, kami pengelola dapur siapkan saja dari Senin sampai Jumat."
Demi mengakali banyaknya jumlah porsi yang dibutuhkan, yayasan membagi jam kerja karyawannya menjadi beberapa shift.
Shift malam yakni pukul 20:00 bertugas memotong-motong bahan sayuran. Shift berikutnya jam 01:00 sampai 05:00 mulai memasak.
Selanjutnya pukul 05:00 sampai 07:00 fokus pada pengemasan dan pendistribusian ke sekolah-sekolah.
Namun demikian, meski sudah sudah menjadi mitra resmi program makan bergizi gratis, Aditia mengaku belum mengetahui detail sistem pembayarannya.
"Doakan saja semoga lima tahun kontraknya," jawabannya penuh harap.
"Karena dari program ini setidaknya karyawan dari masyarakat sekitar yang tadinya tidak kerja, bisa kita maksimalkan. Akhirnya menumbuhkan ekonomi masyarakat."
Yang pasti, katanya, pihak yayasan tidak mengambil keuntungan yang besar karena lebih mengutamakan masalah kemanusiaan.
"Karena coba pikir siapa yang mau katering Rp10.000? Satu kue saja Rp26.000, kan tidak masuk akal. Kalau Rp10.000 mau apa diuntungkan, tempatnya saja pakai stainless."
"Jadi kita bukan cari untung, tapi beban operasional setidaknya bisa terpenuhi, karyawan dibayar, segala macam berputar. Keuntungannya itu untuk membayar kegiatan [program] ini."
'Kami belum dapat arahan'
Di Yogyakarta, mitra yang dilibatkan dalam program makan bergizi gratis, UMB Boga Catering menyebut pihaknya masih dalam proses pembahasan di tingkat pimpinan.
Sementara itu, Kepala Bidang Perencanaan dan Pengembangan Mutu Pendidikan Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga DIY, Raden Suci Rohmadi, mengatakan pemda belum menerima arahan resmi dan masih menunggu perintah lanjutan mengenai mekanisme pelaksanaan program ini.
Kendati selama ini beberapa sekolah swasta atau sekolah yang memiliki kapasitas besar sudah ada yang menjalankan makan bergizi gratis.
"Kita baru mendapatkan bentuk mekanisme lewat sosialisasi Badan Gizi Nasional. Tetapi, terkait dengan praktiknya seperti apa, kita belum ada pembicaraan lebih lanjut," kata Raden Suci, Jumat (03/01).
"Di SLB juga sudah jalan program Penyediaan Makanan Tambahan Anak Sekolah atau PMTAS. SLB-nya sudah melakukan sendiri."
Untuk mendukung kelangsungan proyek ini, katanya, pemda menyisihkan anggaran dari APBD sebesar Rp42 miliar –sesuai aturan Permendagri.
Sejauh ini pemda telah menyiapkan data terkait sasaran program dan wilayah distribusi.
"Kami sudah menyusun jumlah siswa di semua sekolah yang ada di DIY untuk SMA, SMK, dan SLB. Kemudian sedikit kami juga membuat rayon kalau misalnya distribusi."
Tentara dilibatkan?
Juru bicara Istana, Adita Irawati, mengeklaim makan bergizi gratis disambut antusias yang sangat tinggi. Pada hari pertama dimulai, setidaknya sudah 140-an UMKM yang terlibat dan diperkirakan akan terus bertambah.
Tetapi, diakuinya pula, karena proyek ini memiliki cakupan yang luas dan memerlukan kerja sama banyak pihak demi mencapai kesuksesan, maka Presiden Prabowo memerintahkan semua elemen termasuk Tentara Nasional Indonesia (TNI) untuk ikut serta.
Ia tak menjelaskan dengan rinci apa saja tugas TNI untuk program ini.
Namun Kepala Pusat Penerangan TNI, Mayor Jenderal Hariyanto, menyatakan TNI akan menyiapkan 599 lokasi dapur pada tahap pertama makan bergizi gratis.
Sebaran lokasinya disiapkan oleh masing-masing matra.
Rinciannya TNI AD menyiapkan 514 lokasi dapur umum, TNI AL mendirikan 96 titik lokasi dapur, dan TNI AU menyediakan tujuh lokasi dapur.
"Terkait waktu peluncuran atau peresmian, kami masih menunggu kesiapan dari Badan Gizi Nasional," katanya kepada BBC News Indonesia.
Apakah program ini terlalu tergesa-gesa?
Pendiri Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (Cisdi), Diah Saminarsih, menilai berubah-ubahnya konsep makanan bergizi gratis ini menunjukkan persiapan dan perencanaannya terlalu tergesa-gesa alias tidak matang.
Ini karena beberapa hal fundamental belum cukup jelas disampaikan pemerintah.
Misalnya seperti apa proses penyediaan bahan baku, proses memasak, pendistribusian ke pihak yang dituju, menu yang disajikan, syarat mitra jasa boga yang diajak kerjasama, hingga siapa pihak yang akan mengawasi jalannya program.
Hal-hal fundamental tersebut, menurut Diah Saminarsih, penting dijelaskan untuk memastikan makan bergizi gratis dilaksanakan dengan baik di lapangan.
Sehingga, katanya, kalau pun ada kesalahan bisa dengan cepat diperbaiki.
"Kalau dulu dikatakan akan pakai pangan lokal, tapi di perkotaan pangan lokalnya apa?" jelas Diah Saminarsih kepada BBC News Indonesia, Jumat (03/01).
"Kemudian vendor atau mitra kateringnya apakah sudah menerima acuan menu? Bagaimana dengan kecukupan gizi yang harus dipenuhi? Penyajiannya apakah boleh digoreng atau tidak? Jadi pedoman teknis itu idealnya disampaikan."
"Tapi karena ini mendesak, saya tidak tahu apakah mitra-mitra ini pakai bidding [lelang] atau tidak. Karena mau dijalankan 6 Januari."
"Itu semua harusnya dijelaskan, sebab kita bicara penggunaan uang rakyat Rp71 triliun yang harus prudence penggunaannya dan terukur impact-nya."
Atas dasar itulah, menurut Diah Saminarsih, proyek anyar ini sebaiknya "diberi sedikit lebih banyak waktu" sampai akhirnya dilaksanakan.
Jangan sampai karena terbelit janji politik, praktiknya malah berantakan.
Pemerintah, sambungnya, bisa mulai dari mengumpulkan lagi data anak-anak dan wilayah yang membutuhkan makan bergizi gratis, lalu membuat pedoman teknis program ini, sosialisasi kepada calon vendor atau mitra.
Baru membuat proyek percontohan di beberapa daerah dan terakhir eksekusi.
Semua itu, menurutnya, tak cukup hanya dalam waktu tiga bulan saja.
Sebab jika program ini dikerjakan dengan terburu-buru, akibatnya bisa macam-macam. Terburuk adalah karena perlu perbaikan, pada akhirnya makan bergizi gratis harus "di-pause" lebih lama.
"Karena seperti biasa, program skala nasional dan besar begini selalu the devil is in the detail."
"Artinya variasi masalah di lapangannya akan banyak dan sebanyak itu pula akan butuh lebih banyak tenaga, waktu, dan uang untuk perbaikannya."
Soal keterlibatan TNI, ia mengaku tak meragukan kemampuan mereka membikin dapur umum. Hanya saja, kondisinya akan berbeda kalau prajurit-prajurit itu harus membuat makanan untuk anak-anak sekolah yang bergizi.
"Apakah mereka sudah mendapat arahan? Beda dong masak untuk berlatih atau perang?"
Sementara itu, Ketua Ruang Kebijakan Kesehatan Indonesia (RUKKI), Mouhamad Bigwanto, melihat adanya mitra katering yang menolak tawaran ikut dalam program ini lantaran "masih kurangnya kepercayaan" terhadap keberhasilan program ini.
Sedari awal, dia cenderung memilih proyek ini khusus ditargetkan sesuai kebutuhan yakni yang memang mengalami masalah stunting.
Dengan begitu, makan bergizi gratis akan lebih tepat sasaran dan menghemat anggaran negara.
"Jadi tidak untuk semua. Atau bisa dengan melakukan pendataan lebih akurat, yang kira-kira memang membutuhkan bantuan maka disediakan oleh pemerintah, sementara yang lain bisa disediakan oleh orang tua masing-masing," imbuhnya.
"Anggaran untuk per porsi jadinya bisa lebih rasional dan memenuhi gizi anak-anak."
"Selain itu, kebutuhan gizi setiap anak juga berbeda-beda, jadi program targeted lebih relevan."
Tapi kalau pemerintah bersikeras ingin proyek ini berjalan lancar, maka pemerintah harus membuat dulu peta kebutuhan gizi anak, baru menyiapkan logistik seperti dapur umum.
Merekrut pekerjanya dan bahan baku yang dibutuhkan.
Tanpa itu semua, program ini terkesan dipaksakan dan seperti gimmick semata.
Laporan tambahan oleh wartawan Nindias Ajeng di Yogyakarta dan Muhammad Aidil di Makassar.