TRIBUNNEWS.COM - Apa alasan Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengakui Pasukan Dukungan Cepat Sudan (RSF) melakukan genosida tetapi mengabaikan kekejaman Israel di Gaza?
Baru-baru ini, Washington menyatakan RSF dan milisi sekutunya terlibat dalam tindakan genosida dalam perang melawan Angkatan Bersenjata Sudan (SAR), yang meletus April 2023.
Pernyataan itu disampaikan oleh Menteri Luar Negeri AS Antony Blinken.
Blinken menyebutkan bahwa lebih dari 638.000 warga Sudan mengalami kelaparan terburuk dalam sejarah negara tersebut.
Lebih dari 30 juta orang membutuhkan bantuan kemanusiaan bahkan puluhan ribu orang tewas akibat konflik tersebut, Al Jazeera melaporkan.
Berdasarkan alasan tersebut, AS secara resmi mengakui adanya genosida yang dilakukan oleh RSF di Sudan.
Sementara AS secara tegas mengecam tindakan RSF dan pemimpinnya, Mohamed Hamdan “Hemedti” Dagalo, terkait genosida di Sudan, negara ini tetap membela sekutunya, Israel, terhadap tuduhan genosida serupa di Gaza.
Beberapa kelompok hak asasi manusia dan aktor internasional telah menuduh Israel terlibat dalam kejahatan perang dan genosida terhadap warga Palestina, terutama dalam konteks serangan yang dimulai pada 7 Oktober 2023.
Tuduhan Kejahatan Perang terhadap Israel
Tuduhan genosida terhadap Israel semakin kuat ketika Pengadilan Kriminal Internasional (ICC) mengeluarkan surat perintah penangkapan terhadap Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu dan mantan Menteri Pertahanannya Yoav Gallant pada November 2023.
Baca juga: AS Bela Israel, Bantah Genosida di Gaza Padahal Banyak Korban Sipil, tapi Akui Genosida di Sudan
Keduanya dituduh melakukan kejahatan perang dan kejahatan terhadap kemanusiaan di Gaza.
Meskipun demikian, pemerintah AS secara konsisten menanggapi tuduhan ini dengan membela Israel.
Pada bulan Desember 2023, Afrika Selatan (Afsel) mengajukan kasus genosida terhadap Israel di Mahkamah Internasional (ICJ).
Sejak itu, sudah ada lebih dari 10 negara lain yang mengikuti jejak Afsel melaporkan kasus genosida Israel di Gaza.
Namun, juru bicara Dewan Keamanan Nasional AS, John Kirby, dengan tegas menolak tuduhan tersebut.