Soal porsi makanan, baginya juga pas. Meski dari cerita beberapa siswa putra ada yang merasa kurang banyak.
Pada hari kedua menu yang mereka terima di antaranya nasi, telur, tempe, dan sayuran ditambah buah pepaya.
Hanya saja, kata Kayla Clairina Belva Safitri, makan bergizi gratis ini tidak setiap hari dinikmati karena sistemnya dibuat bergilir.
Ia mencontohkan pada hari pertama, hanya kelas 10 dan 11 yang menyantap makanan gratis ini. Kemudian di hari kedua, hanya kelas 12.
Sistem bergilir tersebut dibenarkan oleh Iqbal dan Adit yang merupakan siswa kelas 11.
"Adanya makan gratis kami senang, kami dapat tiga kali dalam seminggu. Kemarin menunya tahu, ayam, sayur, nasi, dan buah semangka. Tapi enggak ada susunya," kata Iqbal.
Di sekolah lain, SMP Negeri 12 Kota Semarang terjadi keterlambatan pengiriman.
Kepala Sekolah, Rini Rusmiasih, bilang pada hari pertama pihak penyedia mengirimkan ratusan paket makanan pukul 11:00 WIB.
Namun di hari kedua, terlambat hingga dua jam alias baru sampai kira-kira pukul 13:30 WIB.
"Hari kedua ini kami tidak tahu kendalanya apa sampai jam ini [11:00 WIB] belum juga datang."
Terkait sajian menu, seorang siswa bernama Sabrina kelihatan kurang senang dengan makanan tahu dan sayurnya pun terlampau sedikit.
"Ia [tidak dimakan tahunya] karena enggak suka. Kalau keseluruhan ayamnya enak, sayurnya lumayan cuma terlalu sedikit, wortelnya ditambahkan harusnya," pintanya. Tapi perihal susu, dia tak mempersoalkan.
Di Makassar, Sulawesi Selatan, beberapa pelajar di SMA Negeri 10, Kecamatan Manggala, mengeluh soal makanan bergizi gratis yang mereka terima.
Faika Ramadani mengatakan pada hari pertama dan kedua, dia menerima menu makanan yang berbeda-beda.
Hari pertama isi menunya nasi, ayam goreng, sayur capcay, dan buah pisang.
Hari kedua, nasi, sepotong ikan bumbu sambal, sayur, dan potongan buah semangka.
Dari dua hari itu, dia lebih senang dengan menu makanan di hari pertama, sebab dia kurang begitu suka makan ikan.
"Masih perlu ada lagi yang ditingkatkan karena tidak semua teman-teman saya bisa makan ikan. Bukan karena enggak suka, tapi memang ada alergi," ucapnya. "Termasuk saya juga ada alergi," katanya menambahkan.
Selain masalah dengan ikan, Faika juga bilang sayur yang disajikan terasa pahit sehingga tak termakan.
Adapun buah pisang, sebutnya, juga banyak yang mubazir.
"Karena bentuk pisangnya sudah terbuka bagian atasnya, itu bikin cepat pembusukan. Jadi kalau bentukannya ada hitam-hitamnya pasti jarang ada yang mau makan toh."
Pada akhirnya, kata Faika, pada hari kedua banyak murid-murid yang membawa pulang makanan mereka ke rumah.
Keluhan soal sayur juga disampaikan Muhammad Anugrah yang duduk di kelas 9 SMP Negeri 17. Pada hari pertama sayur yang disajikan bayam dengan tambahan wortel. Sedangkan hari kedua, tahu dicampur bayam.
"Saya tidak terlalu suka [sayurnya] karena agak pahit dan tahunya juga sudah kecut."
Murid bernama Dian dari SMA Negeri 10 juga mengaku lebih suka menu di hari pertama lantaran kurang suka dengan menu ikan. Kendati begitu, ia terpaksa menghabiskan makanannya.
Terlepas dari hal itu, dia bilang makanan gratis ini menambah konsentrasinya belajar di sekolah.
"Saya kalau lapar tidak bisa konsentrasi. Tapi ada teman saya ada yang mengantuk kalau makan kebanyakan."
Alifah Farah Dzakiyah yang merupakan teman sekelas Anugrah juga bilang bersyukur adanya makan gratis ini sebab bisa meringankan beban orang tuanya.
"Memang tidak dapat susu, tapi ada buah pisang sama semangka. Semoga [program ini] tetap dilanjutkan karena uang jajan juga berkurang, orang tua saya juga tidak susah memikirkan [jajan saya]."
Dari enam jenis sajian menu MBG, hanya satu yang sesuai standar
Seorang pemeriksa gizi, Muhammad Shidqi, mengamati beberapa jenis sajian menu Makan Bergizi Gratis (MBG) yang diunggah warganet di media sosial X dan Facebook.
Dari enam jenis sajian menu yang diamatinya, hanya satu yang menurutnya telah memenuhi standar Angka Kecukupan Gizi berdasarkan Permenkes nomor 28 tahun 2019.
Di beleid itu disebutkan takaran isi piring anak usia Sekolah Dasar harus terpenuhi antara 500-700 kalori dan terkandung unsur karbohidrat, protein nabati dan hewani, lemak, dan buah dalam sekali makan.
Salah satu sajian menu yang dianggapnya memenuhi standar Angka Kecukupan Gizi ketika melihat makan bergizi gratis di salah satu sekolah di Lombok Tengah. Makanan itu terdiri dari nasi, telur dadar, sayur tahu tumis, dan susu coklat.
Perkiraan kasarnya, satu buah pisang memiliki 50 gram, setangkup nasi 200 gram, satu telur dadar 55 gram, dua sendok tahu tumis 30 gram, dan susu coklat 115 miligram.
Jika dijumlahkan, maka total ada 645 kalori, 17 gram protein.
Sedangkan sajian menu yang dianggap tidak memenuhi standar Angka Kecukupan Gizi terlihat di beberapa daerah.
Isi makanannya tiga potong buah melon yang perkiraannya mencakup 30 gram, nasi 150 gram, potongan kecil fuyunghai 30 gram, dan sesendok sayur tumis tempe wortel serta kol 25 gram.
Kalau ditotalkan hanya terdapat 415 kalori, 9 gram protein.
Menurut Shidiq dari beberapa unggahan menu yang ada di media sosial cukup banyak yang terlihat "seadanya". Ia mencontohkan lauk dan sayur yang terlampau sedikit dibandingkan nasi.
Padahal kalau memakai pedoman Kementerian Kesehatan soal Isi Piringku, sayur harus 2/3 dari total isi piring. Begitu pula dengan lauk pauk dan nasi.
"Nasi ini rata-rata terlalu banyak dibandingkan sayur yang sangat kurang atau sedikit sekali. Kalau bisa takarannya sama," tutur Shidiq kepada BBC News Indonesia, Selasa (07/01).
"Karena anak-anak butuh serat dari sayur dan mereka sebaiknya diperkenalkan sayur sejak dini."
"Saya jadi merasa prihatin kepada anak-anak yang diberikan makan bergizi gratis ini karena menunya sangat seadanya. Tapi saya juga tidak bisa menyalahkan ahli gizi dan juru masak yang sudah membuat, karena saya percaya mereka sudah melakukan yang terbaik dengan sumber daya yang terbatas," sambungnya.
Shidiq juga bilang merujuk pada pedoman Isi Piringku, susu sebetulnya tidak wajib dan bisa digantikan dengan sumber protein lain seperti daging ayam yang lebih banyak.
Tetapi masalahnya, kata dia, rata-rata lauk ayam dalam menu makan bergizi gratis ini sangat sedikit.
Terkait buah-buahan juga tak lepas dari kritiknya. Ia bilang buah yang biasa disajikan untuk usia anak ada tiga: jeruk, pisang, dan melon.
"Yang saya bingung ada menu yang menyajikan salak... ya salak mungkin enak, tapi anak-anak biasanya kurang doyan dan susah dibuka."
Pria yang pernah bekerja sebagai ahli gizi di sebuah rumah sakit ini juga mempertanyakan panduan menu makan bergizi gratis yang sepertinya kurang memperhatikan kesehatan anak.
Dalam beberapa kasus, ungkapnya, banyak ditemukan anak yang alergi pada telur dan ikan. Sehingga seringkali para ahli gizi merekomendasikan lauk berupa daging ayam dan sapi.
Hal lain yang baginya penting adalah lauk protein hewani dan nabati semestinya disajikan bersamaan, tapi dari beberapa sajian menu justru tidak lengkap.
"Kayak di Depok, foto menunya ada yang enggak ada protein hewaninya. Di menu lain malah ada yang protein hewaninya dobel. Jadi kayak belum terstandar sekali."
"Ya mungkin karena masih hari pertama, masih bisa dimaklumi meskipun harusnya ada acuan," tuturnya.
Shidiq pun menyadari harga per porsi untuk makan bergizi gratis ini memang terbilang kecil Rp10.000.
Namun, menurut dia, bahan makanan seharga itu masih bisa mencukupi standar gizi jika komposisinya diatur dengan baik dan harganya tidak dipotong untuk keperluan apa pun.
Apa evaluasi makan bergizi gratis?
Pengamat kesehatan dari lembaga kajian Center for Indonesia's Strategic Development Initiatives (Cisdi), Diah Saminarsih, berkata persoalan-persoalan yang disampaikan siswa dan pemeriksa gizi itu "sangat krusial" yang harus segera dievaluasi serta diperbaiki pemerintah sesegera mungkin.
Sebab jika terlambat, bahan makanan dan anggaran yang digelontorkan akan terbuang sia-sia.
"Iya itu masalah krusial, bagus ketahuan sekarang dan bisa diperbaiki," ujar Diah kepada BBC News Indonesia.
Tapi lebih dari itu, dia mengaku sudah menduga akan banyak variasi masalah dari program makan bergizi gratis tersebut. Sebab hingga program ini diluncurkan pada Senin (06/01) pemerintah tak menjabarkan dengan terang benderang beberapa hal fundamental.
Semisal seperti apa proses penyediaan bahan baku makanan, bagaimana panduan proses memasak yang benar, pendistribusian makanan yang tepat, sampai sajian menunya.
Termasuk mengenai syarat mitra katering yang memenuhi standar, berapa banyak ahli gizi yang dilibatkan, hingga pihak yang mengawasi jalannya program.
Sebagai sebuah proyek nasional skala besar, menurutnya, pemerintah seharusnya membuat perencanaan yang matang terlebih dahulu. Sehingga kalau ada reaksi atau kritik dari penerima maupun publik, sudah ada antisipasinya.
Bukan seperti sekarang, terkesan tak siap dengan reaksi yang bermunculan.
"Sempat kan ada muncul kabar siswa dilarang memfoto menu dan mengunggah ke media sosial. Sekolah pun takut kalau makanannya tidak habis akan jadi penilaian."
"Saya melihatnya ketika pemerintah merancang program seolah-olah reaksinya akan serupa dan seperti yang diharapkan. Tidak dipertimbangkan kalau merencanakan sebuah program, pasti akan ada banyak variasi [masalah]."
"Makanya kesiapan penting dan harus matang," jelas Diah.
Kini dengan segudang masalah yang muncul, dia menyarankan pemerintah agar membentuk sebuah tim kerja yang tugasnya membuka kanal aduan.
Dari situ, para ahli di Badan Gizi Nasional bisa langsung mencari jalan keluarnya secepat mungkin.
"Jadi sekarang waktu-waktu krusial, tepatnya di satu bulan pertama."
"Di saat ini juga perbaikan bisa dilakukan, sambil jalan saja. Mana sekolah-sekolah yang perlu diperbaiki menunya. Karena programnya sudah jalan, enggak mungkin dong distop dulu seminggu atau sebulan."
"Apakah itu realistis? Iya cukup realistis karena dari 190 dapur, pilih saja mana yang bisa diperbaiki."
Adapun mengenai pernyataan Kepala Kantor Komunikasi Kepresidenan, Hasan Nasbi yang menyebut program ini masih menggunakan dana pribadi Presiden Prabowo, Diah menyebut hal itu semestinya tidak terjadi.
Sebab meskipun MBG adalah janji politik Prabowo sejak masa kampanye, akuntabilitasnya tetap harus jelas.
"Saya menduganya biasanya penganggaran negara itu butuh waktu, tapi karena makan bergizi gratis ini harus jalan cepat, jadi diputuskan pakai dana pribadi dulu."
Diah Saminarsih juga tak mau terburu-buru menilai apakah program andalan Prabowo-Gibran ini bagus atau buruk.
Ia berharap ada improvisasi dari pemerintah di lapangan sehingga pelaksanaannya bisa lebih baik lagi.
"Semoga saja masukan dari para ahli didengar."
Apa tanggapan pemerintah?
Juru bicara Kantor Komunikasi Kepresidenan, Prita Laura, menyebut makan bergizi gratis sudah sesuai yang diinginkan pemerintah.
Soal beberapa persoalan seperti keterlambatan, kata dia, hal itu masih dalam prosedur mereka -di mana makan bergizi gratis memang diberikan dalam rentang makan pagi hingga makan siang.
"Jadi keterlambatan dalam MBG bukan harus jam sekian, jam sekian... tapi dalam kurun waktu makan pagi dan makan siang," ujar Prita kepada BBC News Indonesia, Rabu (08/01).
Dia kemudian menjelaskan menu makanan yang bagi beberapa anak dirasa kurang enak sehingga tak habis dimakan.
Ia bilang, makan bergizi gratis mustahil bisa memuaskan semua anak. Sebab MBG, klaimnya, bukan restoran.
Yang utama dalam makan bergizi gratis, sambungnya, adalah bergizi sehingga menu yang disajikan akan sama semua.
"Dan semua anak tidak bisa dipuaskan dengan selera masing-masing."
Adapun terkait standar Angka Kecukupan Gizi (AKG) dalam makan bergizi gratis, katanya, juga sudah dipikirkan dengan melibatkan ahli gizi di tiap-tiap Satuan Pelayanan Pemenuhan Gizi (SPPG) atau dapur.
Ahli gizi inilah yang bekerja memastikan menu setiap hari sesuai standar AKG dan mengawasi bahan makanan, proses memasak, sampai penyajian di tiap-tiap piring.
"Meskipun memang saya menemukan ada kasus di sekolah di Ciracas, sayurnya asem. Setelah saya amati, ternyata masalahnya pada plating [penyajiannya]."
"Ketika sayur masih panas langsung ditaruh di wadah dan ditutup, itu kan bisa bikin asem."
"Ini jadi pembelajaran karena memasak berkejaran dengan waktu."
Semua permasalahan itu, ujar Prita, sudah dicacat oleh pemerintah dan akan menjadi pembelajaran dan dilakukan perbaikan.
Kendati dia meminta publik agar terus mendukung program ini.
"Program ini sangat kompleks, temuan-temuan di lapangan sangat baik untuk diperbaiki dalam bentuk SOP. Namun program ini jangan dibunuh, jangan dimatikan, mari improve sama-sama."
Laporan tambahan oleh wartawan Nanda Batubara di Medan, Nefri Inge di Palembang, Kamal di Semarang, Darul Amri dan Muhammad Aidil di Makassar.