Sekarang kita tahu bahwa Jenggot juga mungkin populer karena alasan lain.
Tapi tentu karena andil dokter yang ‘menyiramkan bensin ke dalam api’.
Saat ini, kita tahu bahwa memiliki rambut di wajah tak cukup untuk melindungi kita dari kuman.
Lagi pula, tak semua kuman buruk bagi kita, tapi hal baiknya, teori kuman menimbulkan kesadaran publik terhadap kesehatan.
Lucunya, menurut Lauren Friedman dari Business Insider, wajah berjenggot bisa kurang higenis daripada wajah yang bercukur.
“Studi terbaru di Behavioral Ecology menunjukkan bahwa rambut di wajah dan tubuh berpotensi menjadi sarang dan tempat berkembang biak ektoparasit pembawa penyakit,” lapornya.
Tapi, penelitian tersebut bertentangan dengan penelitian baru lain yang diterbitkan dalamJournal of Hospital Infection, yang meneliti sampel dari 408 staf rumah sakit.
Seperti yang dilaporkan David Nield Januari lalu, data menunjukkan bahwa staff yang bercukur tiga kali lebih mungkin memiliki methicillin-resistant Staph aureus (MRSA) pada kulit mereka daripada staf yang berjenggot.
Jenggot bukanlah perawatan paling konyol yang dipercaya publik sebelum ilmu pengetahuan mencapainya.
Pada tahun 1700-an, dokter berpikir memberi udara melalui pantat seseorang bisa menyelamatkannya, terutama bagi korban tenggelam.
Selama abad pertengahan, orang-orang dilaporkan harus kentut di dalam stoples untuk menangkal wabah.
Saat ini, pemahaman kita mengenai kuman sudah meningkat, masyarakat secara keseluruhan juga lebih sadar akan kebersihan dan bidang medis juga sudah lebih maju.
Resep jenggot zaman dahulu lebih disebabkan karena kepanikan massa daripada pemahaman ilmiah apapun.
Tapi, tetap menarik untuk melihat ke belakang dan melihat seberapa jauh kemajuan kita sekarang.