TRIBUNNEWS.COM – Awalnya tidak ada yang menyangka Nur Yasin yang lulusan SD bisa jadi petani teladan. Sebab, meski Desa Pao-pao tempat tinggalnya berada di Sulawesi Selatan yang termasuk salah satu dari empat daerah penentu kedaulatan pangan Indonesia, tanah di desa itu relatif gersang dan kurang cocok dijadikan lahan bertani.
Namun, Nur Yasin tidak menyerah begitu saja. Ia terus rajin mencoba berbagai cara agar pertanian di desanya dapat berkembang sama baiknya dengan di Pulau Jawa.
Satu cara yang Nur Yasin tempuh juga agak berbeda dibanding petani lain. Jika petani di Desa Pao-pao ramai memakai obat dan pestisida agar hasil taninya berlimpah, ia malah memilih pertanian organik.
Nur Yasin memang menggunakan pupuk kompos. Pupuk tersebut terdiri dari bahan-bahan alam, seperti kotoran sapi, kotoran ayam, sekam gergaji, keong, bintang laut dan gula merah.
Semua bahan alam itu ia racik menjadi pupuk untuk menyuburkan lahan pertanian seluas 12 ribu meter persegi di Dusun Maralleng, Desa Pao-pao, Kecamatan Tanete Rilau, Kabupaten Barru, Sulawesi Selatan.
“Berhentilah meracuni diri sendiri,” begitu ujarnya ketika ditanya alasan memilih pupuk organik. Pernyataan itu tampaknya bukan basa-basi belaka. Sebab, sayuran kangkung, kacang, cabai, terong dan melon di lahannya tampak segar dan sehat.
“Dulu waktu pakai pupuk kimia, tanaman gampang banget kena penyakit bercak. Sekarang tahan penyakit,” ujar Nur Yasin pada awal tahun 2014 lalu.
Ditambah lagi, hasil produksi pertanian Nur Yasin melimpah sejak menggunakan pupuk organik. Dulu, ia mengaku cuma bisa memanem 40-50 ikat kangkung sehari, tapi sejak memakai pupuk organik, hasilnya meningkat jadi sekitar 70 ikat per hari.
Selain kangkung, hasil pertanian Nur Yasin lainnya pun mengalami peningkatan. Terong dan cabai misalnya. Dua sayuran itu kini sudah bisa dipanen tiap 3 bulan sekali.
Tak hanya itu, setelah dipanen pun cabai dan terong milik Nur Yasin terus berbuah untuk dipanen 3 bulan berikutnya.
Begitu pun dengan kacang. Masa panennya lebih cepat, hanya 40 hari sudah bisa dipetik.
Nur Yasin juga mengungkapkan berbagai keuntungan lain jika memakai pupuk organik. Selain sayuran lebih segar dan hasil produksi yang meningkat, lahan pertaniannya pun dapat dipakai 3-4 kali dalam satu kali tebar pupuk. Jadinya, lebih hemat dari segi biaya.
Tak Terjebak Dalam Tempurung Kura-Kura
Keberhasilan Nur Yasin sebagai petani teladan selama ini tak membuat ia terjebak dalam tempurung kura-kura. Ia tak ingin sukses sendirian.
Sejak pertanian organiknya berhasil, ia bertekad mendorong petani di wilayahnya bertanam secara organik. “Dalam lima tahun ke depan desa ini harus bebas pestisida,” ujarnya optimistis.
Cara yang Nur Yasin lakukan untuk mewujudkan tekadnya bermacam-macam. Selain bekerjasama dengan berbagai pihak, ia juga sering mengajarkan cara bercocok tanam pada masyarakat sekitar secara cuma-cuma.
Pupuk komposnya ia jual dengan harga murah, hanya seribu Rupiah per kilogram. “Saya nggak cari untung, yang penting bisa membuat banyak orang ketularan menerapkan pertanian organik,” ucap Nur Yasin penuh keyakinan.
Tekad dan kerja keras Nur Yasin memang pantas dihargai. Sebab kondisi alam pertanian di desanya sebenarnya kurang cocok dijadikan lahan bertani.
Tanah di Desa Pao-pao relatif gersang dan kawasan pesisirnya telah rusak akibat penebangan hutan mangrove dan tambak ikan yang menggunakan bahan kimia.
Namun, pelan-pelan pola pikir masyarakat sekitar berubah. Kini normalisasi lingkungan mulai terlihat sedikit demi sedikit. Taraf hidup para petani pun meningkat.
Nur Yasin sendiri memilih tidak begitu ambil pusing dengan keuntungan yang diperolehnya. Ia mengaku tak pernah mengeluh atau mimpi muluk-muluk mencari pekerjaan lain dengan bayaran besar.
“Asal sayuran di kebun tumbuh subur, saya merasa sudah bergaji. Yang penting bisa menghidupi keluarga,” katanya bersahaja.
Keberhasilan pertanian organik Nur Yasin tersebut memang satu contoh yang pantas ditiru. Apalagi potensi pertanian organik di Indonesia sebenarnya sangat besar.
Selain lahan pertanian Nur Yasin di Desa Pao-pao, terdapat pula lahan pertanian organik di Desa Salassae, Sulawesi Selatan yang juga sukses mengembangkan cara bertani tanpa bahan kimia itu.
Kementerian Pertanian pun senantiasa mendorong berbagai pihak mengembangkan diri dan saling bersinergi bersama, sehingga hasil pertanian organik Indonesia dapat terus berkembang hingga mencapai tingkat dunia. (advertorial)