TRIBUNNEWS.COM – Cinta, barangkali, bukan sekadar kata-kata manis dalam novel atau komik masa remaja. Bagi sebagian orang, cinta adalah daya utama yang mampu menggerakkan kehidupan.
Tak jarang, objek cinta pun bukan orang lain atau benda, tapi tanaman dan buah-buahan. Para petani bisa jadi salah satu di antara mereka yang mencintai tanaman dan buah-buahan tersebut.
Sebab, mereka mengerti benar bagaimana merawat tanaman dan buah-buahan yang sedang ditanam dengan sepenuh hati.
Bahkan, bagi mereka, bisa jadi tanaman dan buah-buahan menjelma menjadi “anak kedua” yang harus diperhatikan sama baiknya dengan anak kandung sendiri.
Zaini bisa jadi merupakan salah satu di antaranya. Petani kopi di Desa Merah Mege, Kecamatan Atu Lintang, Kabupaten Aceh Tengah itu mengaku telah mencintai kopi sejak 2007.
Meski awalnya ia hanya bekerja sebagai penarik retribusi hasil pertanian dan perkebunan di sekitar perbatasan Aceh Tengah, tapi pelan-pelan ia membuka lahan perkebunan kopi sendiri di desa yang berjarak sekitar 30 km dari Takengon itu.
Sepanjang perjalanan yang dilaluinya, Zaini ternyata makin cinta pada biji tanaman yang konon telah ada sejak ratusan tahun silam di Ethiopia itu.
“Kopi adalah tanaman keras yang sangat manja. Layaknya manusia, kopi harus dirawat dengan sepenuh jiwa,” ujar Zaini pada Jumat (31/7/2015) lalu.
Sentuhan cinta Zaini pada kopi terlihat jelas pada rumahnya yang berdinding kayu.
Di tengah ruangan rumah, terdapat puisi panjang buatan Zaini yang melukiskan kecintaan sekaligus kekecewaannya pada kopi.
“Hasrat dan mimpi/ serta kerinduan petani kopi Gayo/ untuk hidup sejahtera/ kelihatannya masih jauh dari/ kata-kata tercapai/bentuk kecurangan dalam rantai penjualan”//
Betul, layaknya hubungan antar manusia, Zaini kerap kali menemui kekecewaan. Menurut ia, nasib para petani kopi Gayo di Aceh Tengah saat ini masih miskin.
Hal itu tidak sepadan dengan gemerlap Dolar yang dihasilkan melalui kafe dan kedai kopi ternama di pusat kota, terutama yang ada di Pulau Jawa.
Ia kemudian berandai-andai jika petani kopi Gayo bisa menikmati hasilnya secara istimewa. Kondisi petani yang selama ini miskin, pikir Zaini, harus bisa diubah.
Oleh karena itu, sejak beberapa tahun lalu Zaini mendirikan Pusat Pelatihan Pertanian dan Pedesaan Swadaya (P4S) Maju Bersama di lahan kebun pertanian miliknya. Pusat pelatihan itu merupakan yang pertama ada di Aceh Tengah.
Tak pelak, Zaini yang mencintai kopi itu pun menjadi pelopor perubahan di lingkungan sekitarnya. Semua itu bersumber dari kecintaannya yang amat dalam terhadap kopi.
Di pusat pelatihan tersebut, para petani dan warga setempat yang antuasias pada kopi bisa belajar seluk beluk budidaya kopi, seperti penanganan pasca panen, manajemen usaha tani, atau belajar menjadi penyuluh pertanian.
Sesekali, Zaini juga mengundang tutor tamu dari luar kabupaten untuk menambah wawasan petani pada setiap kegiatan pelatihan yang diberikan.
Selama masa pelatihan, para peserta langsung diterjunkan ke kebun. Dengan cara demikian, mereka dapat langsung belajar melalui pengalaman, tidak perlu banyak teori atau kegiatan formal seperti seminar.
Semua itu tentunya didasari niat kuat Zaini memajukan dunia pertanian Aceh.
“Kelak para petani kopi Gayo harus menikmati hasil kebunnya secara istimewa. Tidak seperti selama ini, petani kopi miskin, yang kaya raya pedagang dan spekulannya,” ujar Zaini.
Zaini memang petani kopi yang otodidak. Satu hal yang tidak terlalu aneh bagi warga di Gayo. Pada umumnya para penduduk di sana telah bertani kopi secara turun-temurun.
Menurut Zaini, hal tersebut dapat menjadi kesempatan yang harus dimanfaatkan.
***
Lahan pertanian organik yang Zaini kembangkan pun pelan-pelan berkembang menjadi lebih luas dan berkualitas. Kini luasnya telah mencapai enam hektar.
Produksinya juga telah mampu mencapai 1,7 ton per tahun di setiap satu hektar lahan pertaniannya. Jumlah tersebut jauh lebih besar dari rata-rata produksi kebun kopi masyarakat lain yang non-organik.
Bersama masyarakat sekitar, Zaini yang mencintai kopi pun mengembangkan lahan pertaniannya lebih jauh.
Selain pelatihan, berbagai undangan dan kunjungan dari macam-macam kalangan kerap kali dilakukan di rumah sederhananya yang berada di tengah-tengah kebun.
Jumlahnya hampir satu kali kunjungan setiap bulannya. “Ada yang bermalam, tapi ada juga yang cuma berkunjung sehari,” tutur Zaini.
Latar belakang dan asal para tamu pun bermacam-macam. Ia mengatakan, para petani dan penyuluh pertanian dari daerah Simalungun, Dairi, Pakpak dan sekitarnya pernah berkunjung ke lahan pertanian kopi miliknya.
Sementara itu, yang pantas dijadikan kebanggaan adalah kunjungan para mahasiswa dan peneliti kopi dari mancanegara, di antaranya Taiwan, Australia, Qatar, Jepang, Amerika Serikat, India, dan sejumlah negara Eropa.
Mereka datang langsung untuk berdiskusi dan belajar mengenai kopi Gayo yang sudah terkenal itu.
Berbagai kegiatan pelatihan dan diskusi pun kerap berlangsung bersama Zaini dan para tamu yang datang. Sambil berbincang mengenai kopi, biasanya mereka juga disuguhi kopi Gayo yang sangat nikmat dan harum.
***
Berkat keuletan dan kecintaannya pada kopi yang tak mengenal musim dan usia, Zaini bekerja keras dengan sungguh-sungguh. Ia tidak pernah mengeluh atas usahanya mengembangkan kopi Gayo.
Hal itu diakui salah seorang alumnus pertanian universitas setempat sekaligus Kepala Bagian Produksi Dinas Perkebunan Aceh Tengah, Sulwan Amri.
Menurutnya, di kawasan Aceh Tengah hanya Zaini-lah yang menyediakan kebunnya sebagai pusat pelatihan budidaya kopi yang terbuka pada publik.
Dengan demikian, tidak heran jika pihak lain pun mengamini kopi milik Zaini benar-benar istimewa.
Apalagi selain karena dirawat dan ditanam dengan cinta dan kasih sayang, sekarang kopinya telah diproduksi dengan merk tersendiri.
Selain itu, berbagai penghargaan juga telah mampu diraih Zaini sebagai pembuktian. Selain Festival Kopi Arabica di Bali tahun 2010 dan perawatan kopi terbaik se-Aceh Tengah, Zaini juga mendapat penghargaan sebagai petani teladan dari Kementerian Pertanian.
Semua itu terjadi tentunya berkat kerja keras dan usaha yang tekun dari Zaini. Meski pendidikan formal cuma sampai SMA, ia tetap saja bekerja dan merawat kebun kopinya.
Dengan kerja keras dan merawat kebun kopi dengan segenap hati, Zaini bahkan telah mampu menghidupi seorang istri dan dua anaknya kini.
“Merawat kopi adalah merawat kehidupan,” kata Zaini sambil tersenyum. (advertorial)