TRIBUNNEWS.COM – Alumnus Fakultas Pertanian Universitas Satya Gama Medy Pramady menanggapi komentar negatif Prof Dr Dwi Andreas Santosa tentang pembangunan pertanian, khususnya pangan setahun masa pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) – Jusuf Kalla (JK) di berbagai media masa.
Menurut Medy, tidak hanya karena konsistensi komentarnya yang sangat tajam dari sudut pandang negatif, tetapi juga kemunculannya yang tiba-tiba sejak era pemerintahan Jokowi-JK, dari sebelumnya yang nyaris tidak pernah terdengar namanya.
Medy awalnya menduga Prof Andreas bagian dari barisan sakit hati yang kalah dalam Pemilu. Namun, ternyata dugaannya tersebut meleset.
Menurut Medy, beberapa pernyataan Prof Andreas yang harus diklarifikasi karena tidak sesuai dengan data dan fakta di lapangan.
Pertama, soal keraguan peningkatan produksi. Profesor pertanian Dwi Andreas Santosa dalam sebuah artikel yang dimuat di salah satu media massa tanggal 12 Januari 2015 (Investor Daily), menyebut kemunduran musim tanam merupakan salah satu faktor penyebab produksi tahun ini tidak akan meningkat signifikan dari tahun lalu.
“Memang benar musim tanam mengalami kemunduran selama 1,5 bulan karena kekeringan yang melanda akhir tahun lalu. Tapi dalam kurun musim tanam Oktober-Maret, luas tanam tercatat mengalami kenaikan hingga 400.000 hektare,” jelas Medy.
Data yang dihimpun dari Kementerian Pertanian (Kementan) menunjukkan, lahan yang terdampak banjir dan hama hingga Juli yaitu 52.000 ha, turun dari periode sama tahun sebelumnya yaitu 159.000 ha.
“Data ini sekaligus menjawab rekomendasi Andreas yang di salah satu surat kabar tertanggal 2 Juli 2015 (Kompas) yang menyebut peningkatan luas lahan tanam harus dilakukan untuk meningkatkan produksi,” ujarnya.
Kedua, soal el nino. Di tengah perjalanan, kabar akan kedatangan el nino pun merebak. Angin kering ini tiba di Tanah Air pada akhir Juli lalu.
Dicemati kedatangannya sejak tahun lalu, Kementan pun memutuskan ‘curi start’ untuk membagikan pompa air.
“Sejak awal Juli Kementan telah membagikan sedikitnya 20.000 pompa air ke daerah-daerah yang endemis kekeringan. Kementan menggelontorkan dana hingga Rp 800 miliar dari pergeseran APBN untuk pembagian pompa air tersebut,” terang Medy.
Medy menambahkan, hingga akhir September, gagal panen atau puso akibat kekeringan tercatat seluas 114.707 ha.
Untuk membantu petani yang terkena puso, Kementan menyiapkan bantuan benih dan pupuk untuk tanam kembali seluas 105.000 ha.
Fakta berikutnya, lanjut Medy, yaitu data BMKG yang menyebutkan el nino tahun ini lebih berat dari yang terparah sebelumnya yaitu tahun 1997.
Saat itu, penduduk Indonesia masih berjumlah 205 juta jiwa dan mengimpor beras hingga 7,1 juta ton.
“Tahun ini, hingga detik ini realisasi impor beras belum ada. Rencana impor beras hanya untuk berjaga-jaga karena el nino yang semakin mengkhawatirkan,” tambahnya.
Ketiga, soal keterlambatan benih dan pupuk tiba di petani. Mady menjelaskan, saat usia kepemimpinan Menteri Pertanian masih dua minggu, ia memutuskan menghadap Presiden untuk mengubah regulasi terkait penyaluran benih, pupuk dan Alat Mesin Pertanian (Alsintan) yang selama ini selalu menghambat peningkatan produksi pangan.
“Sebelumnya, pengadaan benih, pupuk dan alsintan harus melalui tender. Namun, sekarang dapat ditunjuk langsung. Mentan pernah mengatakan, potensi produksi bisa menurun kalau ketiga faktor ini datang terlambat. Jokowi pun menyetujui regulasi itu diubah,” paparnya.
Artinya, terang Medy, ada upaya agar ketepatan penyaluran benih terus diperbaiki. Sampai saat ini, keluhan mengenai keterlambatan penyaluran kian berkurang.
Menurut keterangan Andreas dalam sebuah mingguan tertanggal 14 April (Agro Indonesia), 50% benih bersubsidi tidak digunakan petani karena selalu datang terlambat.
Keempat, ada pula masukan soal panjangnya rantai distribusi. Dalam sebuah surat kabar yang terbit pada 26 Mei 2015, Andreas menyebut rantai pasokan beras masih panjang sehingga harganya tinggi dan sulit dikendalikan jika ada lonjakan.
Medy mencatat, persoalan rantai pasok sesungguhnya merupakan tupoksi Kementerian Perdagangan. Tapi patut dicatat, Kementan memiliki upaya tersendiri, yaitu pendirian Toko Tani Indonesia (TTI).
“TTI diyakini akan memangkas rantai pasokan menjadi 3-4 titik dari sebelumnya 7-8 titik. Sampai sekarang, ada sedikitnya 100 TTI tersebar di Jabodetabek,” ungkap Medy.
Medy menambahkan, dalam rencana anggaran 2016 yang diajukan ke Komisi IV DPR RI, Kementan mengalokasikan Rp 200 miliar untuk pembangunan 1.000 TTI sepanjang tahun depan.
Pola TTI yaitu memperbesar peran Perum Bulog sebagai penyedia stok pangan. Bulog nantinya akan menyerap langsung dari petani dan akan disuplai ke TTI seluruh Indonesia.
Lalu yang kelima, soal impor bawang merah. Dalam surat kabar tertanggal 9 Juni 2015 (Sinar Harapan), Andreas menyebut pemerintah harus berhati-hati dengan para spekulan bawang merah dan jangan sampai memutuskan impor.
Situasinya saat menjelang Ramadhan dan saat itu memang harga bawang merah di pasar amat tinggi, mencapai Rp 40.000 per kilogram. Jika melihat hukum supply and demand, jelas semua kalangan menilai ada kekurangan pasokan di pasar.
Kala itu, rapat kabinet memutuskan impor bawang merah harus dilakukan. Mentan lalu meminta penangguhan dua hari untuk terbang ke Bima dan NTB, membeli bawang merah di tingkat petani sebesar Rp 6.000-Rp 7.000 per kilogram, lalu mengguyur pasar Jakarta.
“Harga komoditas itu langsung terkerek hingga Rp 17.000 per kilogram. Kita bahkan ekspor bawang merah 4.500 ton,” ujarnya.
Dirjen Hortikultura Spudnik Sudjono memiliki cara lain. Sambil membangun infrastruktur, dia menyusun pola tanam bawang merah agar dapat dipanen sepanjang tahun.
Komitmennya, sepanjang 2016 kita tidak akan lagi impor bawang merah.
Keenam, soal ketidakakuratan data. Andreas menyebut data produksi dan konsumsi saat ini tidak akurat (Republika, 23 Maret 2015).
Selama ini, data yang digunakan oleh Kementan merupakan data lapangan dan data yang dirilis oleh BPS. Menanggapi hal ini, Kementan pun mengundang sejumlah ekonom pertanian untuk melakukan kalibrasi data.
Pasalnya, data merupakan dasar dalam menentukan kebijakan.
“Urusan data, negara telah memberikan tugas ini pada BPS. Setiap tahunnya, triliunan dana mengalir ke lembaga tersebut. BPS telah terbentuk 1957 dan merupakan lembaga statistik satu-satunya Tanah Air,” tegas Medy.
Terakhir, soal kebijakan impor. Dalam surat kabar tertanggal 29 Oktober 2015 (Koran Tempo), Andreas menyebut Indonesia telah mengimpor beras sebanyak 222.000 ton pada semester pertama tahun ini.
Adapun, volume yang juga dipublikasikan oleh BPS ini sesungguhnya impor beras khusus untuk kebutuhan Rumah Sakit yang rekomendasi impornya diterbitkan oleh Kementerian Perindustrian.
Di lapangan, panen masih berlangsung di daerah-daerah di atas khatulistiwa. Meski dilanda puso, Jawa Barat masih menjadi penyumbang beras terbesar di Pasar Induk Cipinang.
Sepekan terakhir, harga beras bahkan turun Rp 500-Rp 700 merespons pasokan yang masih melimpah.
Dalam artikel yang sama, secara tendensius Andreas menyatakan, sudah saatnya pemerintah Jokowi berhenti beretorika dan pencitraan melalui berbagai pernyataan yang tidak didasari fakta dan data yang akurat.
“Kami berpikir pernyataan Prof Andreas yang juga akademisi itu harus didukung oleh data yang akurat. Selain itu, Prof Andreas harus lebih meningkatkan pemahaman akan kondisi lapangan yang lebih komprehensif, sehingga pemikiran-pemikiran yang cemerlang akan lebih banyak memberikan kontribusi yang positif terhadap kemajuan bangsa dan penyelesaian masalah pangan nasional secara sinergis,” sesal Medy.
“Betapa mirisnya hati ini, ketika yang berkomentar itu seorang profesor yang seharusnya memberikan solusi pembangunan, tidak hanya kritik. Saya khawatir gelar tertinggi akademisi yang disandangnya akan menimbulkan preseden negatif terhadap citra akademisi yang selalu menjujung tinggi hakikat kebenaran dan kejujuran,” lanjut Medy.
Medy menyarankan, lebih baik kita bekerja, bekerja, dan bekerja untuk bangsa. Jangan mendzalimi teman-teman yang sungguh-sungguh bekerja untuk orang kecil dan buruh tani.
“Kalau kita tidak bisa membantu, ya minimal diam lah dan berdoa agar bangsa ini tetap maju, karena yang kita hadapi ke depan adalah persaingan antar negara, baik regional maupun global sebagai konsep inti dari era globalisasi,” pungkasnya. (advertorial)