Kedua, benarkah mahkota gigi yang patah hanya tersisa separo?
Adakah proses pendarahan yang dialami saat itu? Bila ada, bermuasal dari gusi ataukah dari dalam gigi, darah keluar? Bila dari gusi sekitar gigi saja, kemungkinannya bermuasal dari trauma pada gigi yang secara langsung juga melibatkan jaringan pendukung gigi tersebut, akibat kerasnya benturan yang terjadi.
Tetapi, andai berasal dari dalam material gigi itu sendiri, dari bagian manakah? Apakah darah keluar dari area patahan mahkotanya? Bila iya, maka besar kemungkinan gigi telah patah hingga melibatkan area pulpa gigi. Dalam hal ini perawatannya dengan tindakan pensterilan gigi. Baik dengan upaya amputasi jaringan pulpa gigi sebagian, maupun seluruhnya. Dan pada gilirannya beriringan dengan proses penyembuhan area trauma, gigi dapat kembali dipertahankan kesehatan dan fungsinya dalam rongga mulut.
Tetapi, andai ternyata tidak ada pendarahan apapun pada gigi, dan area patahan berwarna kekuningan selayaknya warna lapisan dentin gigi, perawatan yang paling tepat yakni dibuatkan mahkota pelapis (jacket crown) pada gigi patah tersebut segera setelah posisi gigi stabil dalam kantongnya di rahang, dan diprediksi tidak ada proses penghancuran material internal maupun akar gigi.
Mengapa perlu segera dilakukan? Karena bila terlambat diupayakan, maka kondisi terbukanya lapisan dentin gigi tersebut pada perjalanannya dapat mencetuskan terjadinya proses kematian gigi akibat terbukanya akses dunia luar terhadap bagian vital pulpa gigi. Dapat berimbas terinfeksinya jaringan pulpa gigi, yang bila berlanjut kronis dapat sebabkan kematiannya. Proses melanjut yang bila tidak juga segera dihentikan maka akan sebabkan kematian serta kehancuran seluruh material gigi. Dalam fase ini, gigi sudah tidak dapat dipertahankan lagi keberadaannya dalam rongga mulut kita. Harus dicabut.
Kecuali andai dalam perjalanannya, tanpa antisipasi ternyata sempat terjadi proses alamiah spontan penebalan lapisan dentin gigi hingga terbentuk lapisan schlerotic dentin yang menutup tubuli dentinalis, sehingga otomatis dapat menutup akses dunia luar terhadap area vital pulpa gigi. Yang lantaran itu gigi dapat saja tetap vital dan terjaga kesehatannya meski sebelumnya lapisan dentin sempat terbuka. Tetapi umumnya ini hanya berlangsung bila patahnya gigi belum begitu dalam dan tidak luas.
Pertanyaan berikutnya, apakah saat kejadian traumatis itu juga dibarengi goyahnya gigi patah tersebut bersama gigi-gigi sekitarnya? Apakah hingga melibatkan anomali traumatis pada rahang? Apakah didukung pula dengan pemeriksaan foto Rontgen? Bila iya, maka tergantung derajat keparahannya, dokter dapat mengambil pilihan tindakan menguatkan gigi dan rahang dengan metode pengikatan/fiksasi gigi (splinting), hingga gigi-geligi kembali stabil kedudukannya dalam rahang seperti sedia kala.
Berikutnya, kapan perubahan posisi gigi seri pertama kanan dan gigi seri kedua kiri disadari terjadi?
Apakah sejak sebelum peristiwa kecelakaan tersebut.. diawali oleh kegoyahannya bertepatan dengan kejadian jatuh dulu, dan berkembang jadi berubah posisi. ataukah dialami setelah gigi palsu dipasangkan saat Mas Putut telah duduk di bangku SMP?
Bila perubahan posisi gigi-geligi tetangga gigi patah tersebut terjadi bersamaan dan beriringan dengan proses trauma jatuh yang dialami, maka dugaan saya telah terjadi kegoyahan derajat tertentu dari beberapa gigi depan rahang atas Mas Putut akibat peristiwa jatuh dulu, dan besar kemungkinan tidak langsung mendapatkan perawatan splinting. Atau, andaipun sempat, perawatan splintingnya belum dijalani tuntas. Alat dilepas saat posisi gigi belum sungguh stabil di posisi idealnya dalam lengkung gigi. Itulah mengapa posisi gigi berubah tidak ideal.
Kemungkinan lain, gigi-geligi tetangga sang gigi patah tidak mengalami kegoyahan yang berarti saat kecelakaan terjadi, tetapi akibat tersisa separonya gigi patah tersebut, gigi-gigi tetangga pengapit sang gigi patah kehilangan area kontak sampingnya, sehingga posisinya berubah oleh perjalanan waktu, selama sekian lama sejak SD hingga muncul niatan mencabut gigi patah tersebut saat telah duduk di bangku SMP, Mas..
Informasi telah menghitamnya gigi yang patah mengindikasikan bahwa gigi telah mati, bila benar bahwa itu bukan terjadi lantaran keberadaan stain ekstrinsik (pewarnaan gigi dari luar) maupun telah terbentuknya lapisan schlerotic dentin pada gigi. Sayangnya tidak ada informasi data terkait, yea Mas..
Sebetulnya, andai gigi benar-benar telah mati dan derajat keparahan sang gigi belum sampai tahap pelunakan/penghancuran material sang gigi, gigi masih dapat disterilkan dan dipertahankan keberadaan dan fungsinya dalam rongga mulut, Mas.. Gigi dirawat saluran akarnya, lalu dibuatkan mahkota pasak pada gigi patah steril tersebut, nantinya.
Nah, melompat ke masa sekarang, ketika gigi patah sudah terlanjur dicabut dan digantikan gigi palsu lepasan selama kurun waktu pemakaian 7 tahun. Saya kira, andai tidak lagi pernah dikontrolkan selama rentang waktu 7 tahun, besar kemungkinan telah terjadi proses penyusutan pada rahang di area bekas gigi patah yang telah dicabut dulu, yang mengakibatkan berkurangnya rigiditas gigi palsu. Itulah mengapa gigi palsu makin lama berubah menjadi longgar.
Salah satu cara mengencangkannya lagi adalah dengan upaya rebasing. Tanpa perlu mengganti gigi tiruan, dibuatkan lapisan baru yang sesuai dengan bentuk contour area mukosa bekas pencabutan terkini pada dasar base/plate gigi tiruan.
Saya melihat perbedaan warna yang cukup nyata antara gigi palsu dengan warna gigi-geligi asli sekitar gigi tiruan Mas Putut saat ini. Tampilan photo gigi palsu Mas Putut tampak lebih putih dibanding warna gigi-geligi asli Mas Putut. Andai benar demikian kondisinya, sesuai kaidah kedokteran gigi estetika, bila Mas Putut menghendaki mendapatkan gigi palsu yang tampilannya sesuai dengan warna gigi sekitarnya, gigi palsu dapat diganti dengan gigi palsu baru yang berwarna lebih sesuai.
Alternatif lainnya yakni pemasangan implant untuk menggantikan gigi yang telah dicabut. Prosesnya standard, asalkan kondisi Mas Putut sesuai indikasinya.