Laporan Wartawan Tribunnews.com,Daniel Ngantug
TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Terbatasnya jumlah dokter jiwa atau psikiater masih menjadi salah satu tantangan penanganan masalah kejiwaan dan gangguan jiwa di Indonesia.
Dr. Eka Viora, SpKJ, Direktur Bina Kesehatan Jiwa Kementerian Kesehatan RI, mengatakan saat ini dokter jiwa yang tersedia berjumlah 809 dokter jiwa dengan rasio dokter dan pasien 1:30.000.
"Padahal idealnya 1:10. Dengan rasio 1:10.000 pun, Indonesia masih membutuhkan sekitar 2.400 dokter jiwa. Bayangkan dengan jumlah penduduk 250 juta jiwa, berapa banyak dokter yang diperlukan dan waktu untuk mendapatkan dokter-dokter tersebut. Bisa-bisa sampai puluhan tahun," ujarnya saat diskusi yang digelar Perhimpunan Dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Indonesia, Rabu (13/8/2014).
Eka menambahkan terdapat enam provinsi yang belum mendapatkan jatah dokter jiwa. Provinsi tersebut antara lain Maluku Utara, Kalimantan Utara, Papua Barat, Gorontalo, Sulawesi Barat, yang notabenenya adalah provinsi baru.
Memperkuat dokter di layanan primer di tingkat kabupaten disebutkan Eka sebagai salah satu solusinya.
"Para dokter umum perlu ditingkatkan kompetensinya sehingga mereka mampu menangangani dulu pasien sebelum dirujuk ke dokter spesialis," katanya.
Di kesempatan yang sama, dr. Nova Riyanti Yusus, SpKJ, Wakil Ketua Komisi IX DPR -RI, menambahkan pemerintah daerah seharusnya juga harus menaruh perhatian lebih pada ketersediaan dokter jiwa di daerahnya.
Menurut pengamatannya, masih banyak pemerintah daerah yang tidak memiliki alokasi dana khusus untuk penangan penyakit ini.
"Pemerintah daerah tentu harus memerhatikan kesejahteraan dokter sehingga mereka tertarik melayani di daerahnya. Tak bisa dimungkiri, dokter juga harus makan," katanya.
Pemerintah baru saja mengesahkan UU Kesehatan Jiwa yang menegaskan penjaminan pelayanan kesehatan jiwa bagi Orang dengan Masalah Kejiwaan (ODMK) dan Orang dengan Gangguan Jiwa (ODGJ).
Pasien berhak mendapatkan pelayanan kesehatan secara terintegrasi, komperehensif dan berkesinambungan melalui upaya promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif. UU tersebut juga melarang tindakan diskriminatif.
"Tentunya kita tidak mau dunia internasional mencap Indonesia sebagai pelanggar hak asasi manusia karena tidak becus menangani masalah ini," kata Nova.