TRIBUNNEWS.COM - Meski tidak terang-terangan, sudah banyak orang yang meminum urine sendiri untuk obat.
Konon, banyak juga yang berhasil. Hipotesisnya menyatakan, semua zat dalam urine menjadi bermanfaat bila dikembalikan ke dalam tubuh.
Benar, kita bisa sehat dengan minum air kencing. Sudah ada bukti empirisnya.
Kalau tahu khasiat urine, kita pasti akan sayang membuang seluruh air kencing yang kita keluarkan dari "kutub utara" sana. Sebagian perilaku kita pun akan berubah.
Kalau selama ini begitu terjaga dari tidur langsung menghadap ke atau jongkok di kloset, begitu tahu betapa berartinya urine bagi kesehatan, kita akan mengambil gelas atau wadah lainnya terlebih dahulu sebelum menuju kloset.
Sebagian air kencing kita tampung untuk dijadikan obat dalam terapi autourine.
Dengan gelas atau sloki, kita bisa meminum minuman steril dan hangat ini. Dengan pipet kita bisa pula meneteskannya di mata, hidung, atau telinga. Atau dengan kapas steril kita oleskan pada luka baru.
"Keuntungan terapi urine ini adalah kesangat-sederhanaannya, sehingga seseorang dapat memahaminya tanpa perlu dijelaskan. Terapi ini tidak spesifik bagi tiap penyakit, tapi spesifik bagi kesehatan," begitu tulis John W. Armstrong dalam buku Air Kehidupan, Penyembuhan Dengan Terapi Urine (PT Gramedia Pustaka Utama, 1998).
Berdasarkan pengalaman empiris, urine menunjukkan khasiat menyembuhkan berbagai penyakit, dari penyakit sepele macam kurap hingga penyakit serius macam jantung koroner, stroke, dan kanker.
Begitu luasnya cakupan penyakit yang bisa disembuhkan, sampai ada orang yang menyebut "pipis" sebagai "air kehidupan".
Sebelum jadi perbincangan ramai sekarang ini pun, pada edisi Juli 1994 Intisari pernah menurunkannya sebagai laporan.
Memang penelitian klinis belum pernah dilakukan. Namun, bukan berarti tidak ada dokter yang mencobanya.
Beberapa dokter di Indonesia telah mencoba urine untuk mengatasi beberapa jenis gangguan kesehatan, meskipun secara sembunyi-sembunyi. Bahkan, di luar negeri justru dokterlah yang mengibarkan terapi ini.
Di Jepang umpamanya, Dr. Ryoichi Nakao, kepala kesehatan bala tentara Jepang ketika PD II, menganjurkan kepada pasukan yang dikirim ke negara jajahan seperti Kamboja, Vietnam, Birma, sampai Indonesia, agar tidak panik bila kehabisan obat.