TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Fidelis Ari Sudarwoto, seorang pegawai negeri sipil di Kabupaten Sanggau, Provinsi Kalimantan Barat, mendekam di sel tahanan sejak 19 Februari lalu. Dia ditangkap Badan Narkotika Nasional (BNN) Kabupaten Sanggau lantaran menanam ganja di kebun rumahnya.
Ganja itu diberikan ke istrinya, Yeni, yang didiagnosa mengidap Syringomyelia -penyakit di sumsum tulang belakang.
Saat masih mengonsumsi ganja, kondisi kesehatan Yeni membaik, seperti dijelaskan Yohana, kakak ipar almarhumah.
"Tangan kiri yang lumpuh itu, jari-jarinya sudah mulai bisa digerakkan. Luka-luka sebesar kepalan tangan orang dewasa bisa menutup kembali."
"Setelah dengan ekstrak ganja itu, kalau kita kunjungi, banyak bercerita. 'Mbak kalau aku sembuh mau begini, mau begitu'. Niat untuk sembuh itu muncul," tambah Yohana.
Yang paling kasat mata, lanjut Yohana, adalah Yeni bisa tidur dan makan.
"Sebelum (konsumsi ekstrak ganja), bisa beberapa hari bisa tidak tidur sama sekali, walaupun pakai obat tidur dengan dosis yang ditambah. Tapi dengan ekstrak ganja, dia bisa tidur nyenyak. Nafsu makan pun ada," papar Yohana.
Pasok ganja terhenti
Namun Yeni meninggal dunia pada 25 Maret lalu, setelah Fidelis ditahan dan tak ada lagi yang memasok ganja untuknya.
"Kondisinya seperti ketika sebelum memakai (ekstrak ganja). Makan, muntah. Tidak ada selera makan. Mengalami kembali kesulitan tidur, mengalami kembali kesulitan buang air kecil dan buang air besar," tutur Yohana.
Kepala BNN, Budi Waseso, menilai tindakan menanam ganja yang dilakukan Fidelis tidak bisa ditoleransi dan tidak ada pengampunan walau mengklaim ganja itu semata-mata untuk pengobatan istrinya.
Buwas, demikian Budi Waseso biasa disapa, menekankan bahwa klaim ganja bisa menyembuhkan penyakit masih harus dibuktikan.
"Itu dari mana penyembuhannya? Kan harus dibuktikan dulu penyembuhannya. Kata siapa itu menyembuhkan," jelasnya.
Perlu penelitian
Hal senada diutarakan Affan Priyambodo, dokter bedah saraf di RSCM Jakarta. Menurutnya, 'belum ada penelitian' bahwa ekstrak ganja dapat menyembuhkan penyakit syringomyelia.
"Ekstrak ganja itu membuat rileks. Inti masalahnya itu tertutup oleh zat-zat lain yang mempengaruhi kerja otak. Seperti narkoba lain, (ganja) membuat lupa akan masalah utamanya," kata Affan.
Syringomyelia, jelas Affan, merupakan penumpukan cairan di dalam sumsum tulang belakang dan penyebabnya pun beragam, antara lain bawaan sejak lahir, mengidap tumor dan kelainan pada tulang belakang.
Penyakit tersebut, menurutnya, bisa disembuhkan.
"Jika diagnosanya tepat, ada kriteria dan klasifikasinya. Kemudian ada beberapa pilihan terapi, namun lebih banyak diselesaikan dengan pembedahan," ujarnya.
Punya khasiat medis?
Justru karena penelitian ganja untuk kepentingan medis belum dimulai di Indonesia, Inang Winarso dari Yayasan Sativa Nusantara meminta pemerintah agar penelitian bisa digelar demi membuktikan ganja punya khasiat medis.
"Ganja adalah salah satu jenis narkotika yang memiliki kandungan untuk pengobatan, cukup banyak manfaatnya. Tapi dalam undang-undang narkotika, ganja disebut golongan 1."
"Kalau golongan 1, hanya diperkenankan untuk penelitian. Kalau kami bisa membuktikan secara ilmiah, ini akan bisa mengubah status penggolongan ganja menjadi golongan 2 dan 3 yang memang diperbolehkan untuk dimanfaatkan untuk pengobatan secara luas," papar Inang.
Izin untuk meneliti khasiat medis ganja pernah diajukan kepada Kementerian Kesehatan pada 2014. Lalu, pada Januari 2015, Kementerian Kesehatan mengeluarkan surat yang ditandatangani Kepala Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan nomor LB.02.01/III.03/885/2015 tentang Izin Penelitian Menggunakan Cannabis.
Hingga kini penelitian tersebut belum terlaksana.
Namun seiring dengan kasus Fidelis Ari Sudarwoto, Dhira Narayana dari Lingkar Ganja Nusantara berpendapat sudah saatnya pemerintah membuka ruangan bagi penggunaan ganja untuk kepentingan medis.
"Saya harap penelitian ganja untuk medis bisa segera dilakukan," kata Dhira.
Efek positif
Asmin Fransiska dari lembaga penelitian dan pengabdian kepada masyarakat Universitas Atmajaya memandang kasus Fidelis mencerminkan isi laporan pusat pemantauan narkotika dan ketergantungan narkotika di Eropa.
Laporan itu menunjukkan apabila narkotika diregulasi dengan baik dan tidak menutup mata pada imbas positifnya, kasus penyalahgunaan narkotika turun atau stagnan.
"Melarang bukan kebijakan yang bisa meredam atau mengurangi penggunaan dan efek berbahaya narkotika. Justru dengan meregulasi yang baik, mengontrol zat tersebut agar tidak menjadi pasar gelap narkotika membesar, itu yang harus dilakukan pemerintah."
"Bukannya menutup kesempatan untuk menggunakan sebaik mungkin efek positif zat-zat tersebut," kata Asmin.
Pada pasal 7 UU No.35 tahun 2009 tentang narkotika, Narkotika hanya dapat digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan dan/atau pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi. Akan tetapi, pada pasal berikutnya, narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan.