TRIBUNNEWS.COM, JAKARTA - Nyeri pinggang merupakan salah satu masalah kesehatan yang paling banyak dijumpai di praktek klinik sehari-hari.
Data yang ada menunjukan setiap orang minimal dalam hidupnya pernah mengalami 1 kali periode nyeri pinggang. Dan sebanyak 5- 20% dari mereka, akan mengalami nyeri yang bersifat kronis.
“Dari sekian banyak pasien yang datang ke klinik dokter atau rumah sakit umumnya sudah dengan kondisi nyeri pinggang yang kronis,” jelas dr. Mahdian Nur Nasution, SpBS, selaku pakar nyeri Klinik Nyeri dan Tulang Belakang, Gedung Onta Merah, Jakarta, Selasa (31/1/2018).
Banyak dari pasien datang setelah sebelumnya mencoba terapi alternatif seperti pijat, totok, atau herbal, namun tidak menuai perbaikan.
Kondisi seperti ini selain menyita waktu dan biaya juga berdampak pada penurunan kualitas hidup pasien.
Modalitas terapi untuk mengatasi masalah nyeri dan tulang belakang dalam dunia kedokteran cukup beragam dan bergantung penyebabnya.
Dari mulai penggunaan obat-obatan, terapi intervensi hingga pembedahan baik operasi terbuka maupun minimally invasive surgery yang hanya menyisakan luka sayatan minimal di kulit (7 mm).
Baca: PB NU Tak Ingin Situasi di Pilkada DKI Terulang Kembali
Dari sekian banyak penyebab nyeri pinggang yang ada di masyarakat, Herniated Nucleus Pulposus (HNP) atau yang jamak disebut saraf terjepit merupakan salah satu penyebab nyeri pinggang kronik terbanyak.
Nyeri yang dialami pasien umumnya menjalar hingga paha, dan seluruh bagian kaki disertai dengan kelemahan, baik pada salah satu atau kedua kaki.
Data yang ada di beberapa negara, seperti Finlandia dan Italy menunjukan prevalensi HNP mencapai 3% dari populasi, demikian halnya dengan kondisi di Indonesia.
Semakin tinggi usia seseorang, semakin tinggi pula kemungkinan terjadinya HNP. HNP paling banyak diderita mereka dengan usia antara 30 hingga 50 tahun.
Risiko terjadinya HNP akan menjadi lebih besar pada laki-laki dibandingkan perempuan dengan perbandingan 2 : 1.
Dari pengalaman klinik yang ada, herniasi bantalan sendi tulang belakang terbanyak terjadi pada bantalan sendi ruas tulang Lumbar (L4/5) dan L5/S1).
Meski demikian dapat juga terjadi herniasi pada bantalan sendi di ruas tulang diatasnya seperti tulang servikal, tetapi lebih sering terjadi pada mereka dengan usia diatas 55 tahun.
Dikatakan oleh dr. Sri Wahyuni, SpKFR, pakar rehabilitasi Klinik Nyeri dan Tulang Belakang, Gedung Onta Merah, Jakarta, terdapat beberapa faktor risiko terjadinya herniasi bantalan sendi tulang belakang diantaranya; merokok, olahraga berat seperti angkat besi, atau aktivitas pekerjaan tertentu yang sering mengangkat beban secara berulang.
Baca: KPK Cegah Gubernur Jambi Zumi Zola ke Luar Negeri
“Dalam beberapa penelitian juga dikatakan, orang yang sering mengendari sepeda motor memiliki risiko lebih besar untuk terjadi HNP, mencapai 2,7 kali lipat,” jelasnya.
Dr. Mahdian mengatakan saat penekanan bantalan sendi tulang belakang terjadi pada saraf motorik akan berdampak pada melemahnya bagian tubuh yang dipersarafi, sementara jika penekanan bantalan sendi tulang belakang terjadi pada saraf sensori, pasien akan mengalami mati rasa pada bagian tubuh yang dipersarafi.
Sementara jika nyeri yang terjadi bersifat radikular atau menjalar, menandakan sudah terjadi inflamasi pada saraf, sebagai tanda sudah tidak ada lagi ruang untuk saraf, atau dengan kata lain herniasi bantalan sendi yang terjadi sudah sangat besar dan memenuhi rongga tulang belakang.
Umumnya saat seorang pasien datang ke klinik dengan keluhan nyeri pingang yang menjalar hingga kaki, dokter akan melakukan pemeriksaan kemampuan gerak tulang belakang dari lumbar hingga servikal.
Selain itu dokter akan melakukan pemeriksaan neurologis seperti kelemahan bagian tubuh tertentu, kebas atau mati rasa, dan pemeriksaan refleks.
Magnetic Resonance Imaging (MRI) dan Computed Tomography Scan (CT-scan), merupakan modalitas diagnosis HNP yang baik untuk saat ini.
Pemeriksaan lain seperti CT myelography juga dapat digunakan pada pasien. Meski demikian herniasi bantalan sendi dalam banyak kasus juga tidak menimbulkan gejala.
Baca: Yenny Wahid dalam Minus dan Bonus Indonesia
Oleh karena itu dokter harus dengan hati-hati memutuskan antara hasil pemeriksaan MRI dan gejala klinis pada pasien memang disebabkan oleh HNP sebelum dilakukan terapi lebih lanjut terutama yang bersifat invasive.
Terdapat berbagai modalitas terapi untuk kasus herniated nucleus pulposus. Dalam kondisi awal dokter mungkin akan melakukan terapi konservatif seperti pemberian obat-obatan serta melakukan terapi fisik, termasuk didalamnya mengurangi faktor risiko, seperti obesitas.
Beberapa modalitas terapi minimally invasive prosedur seperti radiofrekuensi dapat dilakukan pada pasien, jika terdapat defisit neurologis yang bersifat progresif atau berat.
Pembedahan seperti laminektomi atau bedah minimally invasive seperti Percutaneous Endoskopi Lumbar Disectomy (PELD) dan Percutaneous Laser Disc Decompression (PLDD).
Keuntungan PELD maupun PLDD, dibandingkan dengan prosedur operasi laminektomi diantaranya; sayatan atau luka bekas operasi yang minimal, recovery paska tindakan cepat, efek samping/ komplikasi paska tindakan ringan, tanpa membutuhkan rawat inap.
Teknologi laser telah banyak digunakan dalam dunia kedokteran, termasuk digunakan untuk mengatasi masalah saraf terjepit akibat penonjolan bantalan sendi tulang belakang, atau dikenal sebagai laser disektomi.
Sebagai teknologi minimally invasive, laser disektomi dapat dilakukan secara rawat jalan. Keunggulan lainnya, pasien terbebas dari sindrom nyeri paska operasi, lebih hemat biaya, angka keberhasilan tinggi.
Keamanan penggunaan laser untuk mengatasi masalah saraf terjepit karena herniasi bantalan sendi tulang belakang sudah diakui secara luas.
Prosedur ini bahkan sudah dilakukan di banyak negara dengan total pasien yang ditangani mencapai lebih dari 80.000 orang.
PLDD dilakukan hanya melalui bius lokal, dengan bantuan computed tomographic (CT) dan panduan fluoroskopi.
Oleh dokter spesialis bedah saraf, sebuah jarum berukuran 1 mm, dimasukan hingga menuju bantalan sendi yang mengalami herniasi, setelah jarum tepat masuk di pusat dari bantalan sendi, serat optik laser dimasukan melalui lubang jarum menuju bantalan sendi, laser tersebut kemudian membakar inti bantalan sendi tulang belakang sehingga volume bantalan sendi berkurang.
Dengan berkurangnya volume bantalan sendi ini, herniasi/ penonjolan yang menekan saraf atau memenuhi rongga tulang belakang, kembali menjadi normal. Rasa nyeri saat berjalan, kebas, kesemutan saat bangun dari tidur atau duduk yang selama ini dikeluhkan pasien juga akan hilang, setelah tindakan dilakukan.
Baca: PB NU Tak Ingin Situasi di Pilkada DKI Terulang Kembali
Tindakan laser disektomi/ PLDD dilakukan tanpa menyebabkan kerusakan pada jaringan sekitar, baik otot, ligamen maupun struktur tulang belakang.
Dalam literatur, tidak disebutkan berapa besar panjang gelombang laser yang digunakan untuk memanaskan bantalan sendi tulang belakang hingga mencair/ menguap dan keluar dari lubang pengeluaran alat endoskopi.
Penguapan atau pencairan bantalan sendi ini, diharapkan mampu mengurangi volume bantalan sendi serta menghilangkan penekanan saraf tulang belakang yang menyebakan terjadinya nyeri, inflamasi pada saraf sekitar.
Dikatakan oleh dr. Mahdian, perubahan kecil volume inti atau tengah bantalan sendi tulang belakang akan mengembalikan benjolan batalan sendi masuk kembali sehingga tampak seperti bantalan sendi normal.
Dari beberapa penelitian yang dilakukan tingkat efektivitas penggunaan laser untuk mengatasi masalah saraf terjepit sangat bervariasi. Antara 78 – 85% jika dilihat dari gejala yang dirasakan pasien, dengan follow-up rata-rata 17-26 bulan paska tindakan.
Sebuah review yang dilakukan oleh Gibson dan kawan-kawan dari beberapa literatur di Cochrane dikatakan bahwa, PLDD memiliki tingkat keberhasilan yang sama dengan teknik operasi terbuka atau laminektomi, dalam mengatasi masalah saraf terjepit. Namun PLDD memiliki lebih banyak keunggulan seperti luka sayatan yang minimal, penyembuhan paska tindakan yang lebih cepat, komplikasi minimal, dengan harga yang relatif lebih murah.