Karena ketimpangan stigma tersebut, Harti menjelaskan yang perlu dilakukan saat ini adalah mengeduksi masyarakat.
"Perbuatan perselingkuhan itu adalah salah. Dan laki-laki juga harus menjadi pihak yang juga dimintai pertanggungjawabannya atas perilaku kekerasan (perselingkuhan termasuk kekerasan terhadap pasangan) yang dia lakukan," kata Harti.
Hal yang sama juga diungkapkan oleh Very Handayani, aktivis perempuan yang juga bergerak dalam dunia teater.
Dia menjelaskan bahwa penggunaan kata pelakor mungkin tidak tepat.
Menurutnya, dalam hal ini, pelaku perselingkuhan bukan hanya pihak perempuan, tapi lelaki juga turut andil dalam hal tersebut.
Selain itu, Very juga menjelaskan bahwa laki-laki bukan barang yang bisa dengan mudah direbut.
Ini yang menjadikan istilah pelakor tidak tepat disematkan pada perempuan.
Namun kini yang menjadi pertanyaan besarnya adalah apa alasan dibalik perempuan lebih memilih menyalahkan perempuan lain dibanding laki-laki?
Kesadaran Gender
Menanggapi pertanyaan tersebut, Harti menyebut bahwa mungkin salah satu alasannya adalah kurangnya kesadaran gender di Indonesia.
"Akarnya adalah cara pandang masyarakat terhadap relasi antara laki-laki dan perempuan yang masih sangat bias gender," katanya.
"Sehingga melihat persoalan seperti itu, yang mendapatkan stigma lebih awal bukan pelaku laki-laki tapi justru pelakor-nya itu sendiri," tambahnya.
Banyak Faktor
Menurut Harti, ada banyak faktor mengapa perempuan merasa lebih mudah untuk menyalahkan perempuan lain.