Salah satunya ketergantungan perempuan, dalam hal ini istri, terhadap laki-laki (suami).
"Bisa jadi seperti itu. Pada korban kekerasan terutama yang kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), biasanya mereka (perempuan) enggan untuk meninggalkan relasinya yang penuh dengan kekerasan," ujar Harti.
"Biasanya mereka menginginkan kkeerasan berhenti tanpa memutuskan relasi berpasangannya dengan suaminya, artinya dia tidak memilih untuk bercerai," sambungnya.
Harti juga menjelaskan, salah satu faktor yang mungkin adalah perempuan hanya memilih untuk tetap bersama suaminya tanpa mencari solusi untuk menyelesaikan masalah kekerasannya (perselingkuhan).
"Ada banyak faktor yang melatarbelakangi seperti itu. Biasanya karena pemahaman di kalangan perempuan sendri yang masih sangat bias gender," ujar Harti.
Maksud pemahaman yang masih bias gender di sini menurut Harti adalah perempuan yang mengamini peran gender tradisional yaitu atau perempuan sebagai makhluk nomor dua, harus taat pada suami, dan lain sebagainya.
"Itu yang sebetulnya yang menjadi akarnya," tegas Harti.
Pendapat ini juga dibenarkan oleh Very.
Dia menjelaskan bahwa selama ini, perempuan di Indonesia dididik untuk bersikap lemah lembut, sedangkan laki-laki dididik untuk berani berkelahi.
Perbedaan ini mungkin membuat perempuan (dalam hal ini istri) mencari lawan yang sebanding, yaitu sesama perempuan.
Selain itu, menurut Harti, fenomena ini terjadi karena perempuan tidak atau kurang mempunyai akses informasi terhadap bagaimana mencari perlindungan atas kasus yang dialami.
Di lain pihak, Harti juga tidak menyangkal adanya ketergantungan terhadap laki-laki yang menyebabkan fenomena ini berkembang.
"Bisa jadi dia (perempuan) tergantung secara ekonomi dan emosional dengan pasangannya itu," katanya.
Namun di luar itu semua, ada banyak hal yang melatar belakangi mengapa perempuan enggan menyalahkan laki-laki saat terjadi kekerasan, baik secara fisik atau verbal.