Terhitung pada tahun 2016 Kementerian Kesehatan mencatat terjadinya peningkatan yang signifikan terkait dengan pembiayaan penyakit jantung, yakni sebesar Rp 7,4 triliun dari yang sebelumnya sebesar Rp6,9 triliun di tahun 2015.
Menanggapi hal ini, Dr dr Ardini Raksanagara, MPH Dosen Fakultas Kedokteran UNPAD merasa prihatin.
“Biaya yang dikeluarkan oleh pemerintah terus beranjak naik untuk penyakit tidak menular seperti jantung yang kita tahu banyak diantaranya diakibatkan oleh kebiasaan merokok,” ucap dr Mariatul.
“Sebenarnya ada alternatif cara lain yang bisa kita lakukan untuk mengatasi hal ini, namun harus diupayakan untuk mengatasi dari akarnya. Bagaimana caranya? salah satunya dengan mengurangi jumlah perokoknya terlebih dulu,” katanya.
Lebih lanjut Dr dr Ardini menjelaskan bahwasanya pengadopsian konsep harm reduction yang diterapkan di produk tembakau alternatif dapat menjadi salah satu solusi untuk mengurangi jumlah perokok di Indonesia.
Namun demikian, Dr dr Ardini memahami bahwa memang dibutuhkan suatu proses bagi seorang perokok untuk dapat berhenti.
“Saya paham bahwa itu sulit, tapi bukan tidak mungkin. Dan ini bisa diupayakan. Jika berhenti langsung sangat sulit, mungkin bisa di pertimbangkan untuk mengadopsi konsep pengurangan bahaya tembakau, yaitu mengganti konsumsi rokok dengan produk tembakau alternatif yang memiliki risiko kesehatan yang lebih rendah. Dengan kebiasaan ini, secara perlahan perokok mulai dapat mengurangi konsumsi rokok yang mana ini akan berdampak pada pengurangan dampak negatif lainnya,” jelas Dr dr Ardini.
Kenali Potensi, Belajar dari Negara Maju
Permasalahan mengenai angka perokok bukan hanya terjadi di Indonesia. Beberapa negara maju juga mengalami hal serupa, seperti Korea Selatan.
Namun, pada tahun 2018, lebih dari satu juta perokok di negeri ginseng itu berhenti merokok dan beralih ke produk tembakau alternatif, seperti produk tembakau yang dipanaskan bukan dibakar.
Peralihan tersebut diindikasikan karena adanya kesadaran perokok untuk mengonsumsi produk yang lebih rendah risiko.
“Bagaimana dengan kita di Indonesia? Rasanya saat ini kita belum menemukan solusi yang tepat untuk dapat menurunkan angka perokok. Saya rasa dengan melihat pada contoh yang dilakukan oleh negara maju dan bagaimana mereka mengimplementasikan peraturan bagi masyarakatnya ini yang harus digali dan dipelajari lebih dalam lagi,” ucap Dr dr Ardini.
“Sekarang ada salah satu cara dengan menggunakan produk tembakau alternatif yang telah terbukti berdasarkan beberapa penelitian bahwa produk ini lebih rendah risiko. Dan saya percaya kita semua harus turut ambil bagian untuk membantu dalam menurunkan jumlah perokok. Hanya sekarang kita butuh dukungan dari para pemangku kepentingan untuk mulai mengerti bahwa kondisi ini tidak bisa dibiarkan dan harus segera dicarikan solusinya. Oleh karenanya kami sangat terbuka dan berharap bisa ikut membantu,” ujarnya.
Ia berharap pemerintah juga dapat ikut membantu dengan menggali lebih jauh lagi untuk potensi produk tembakau alternatif, salah satunya dengan penelitian.
“Agar tidak ada lagi yang ragu lagi jika pemerintah bersedia duduk bersama untuk mencari solusi dengan menggunakan produk tembakau alternatif,” tutupnya.