“Kemenkes, tidak serius dalam melakukan negosiasi harga ini sehingga dibayarkan sangat tinggi. Selisih harga ini seharusnya bisa digunkan untuk mengobati pasien 60.000 lebih banyak daripada yang seharusnya," katanya.
Juga potensi ratusan milyard uang negara yang bisa dihemat jika pemerintah lebih efisien dalam melakukan pengadaan.
Dia pun menambahkan bahwa semestinya Kimia Farma dan Indofarma sebagai sebuah BUMN, juga mengemban misi sosial mendukung program pemerintah bukan hanya sebatas memikirkan mencari keuntungan bagi perusahaannya sendiri.
Persoalan HIV dan AIDS sendiri masih menjadi isu kesehatan public yang sangat serius di Indonesia.
Bila dibanyak negara lain, kasus HIV mulai menunjukkan angka penurunan penularan, namun Indonesia masih mencatat kenaikan.
Penurunan angka penularan HIV ini dikarenakan negara lain mampu menyediakan akses pengobatan ARV kepada mayoritas ODHA sehingga mereka kemudian bisa hidup lebih sehat dan tidak menularkan HIV kepada orang lain.
Sementara, dengan tingginya harga obat ARV yang dibeli pemerintah Indonesia, sampai saat ini tercatat bahwa kita baru mampu memberikan pengobatan kepada kurang lebih 100 ribu ODHA dari estimasi 650 ribu ODHA yang ada di Indonesia.
"Dari 100 an ribu ODHA yang mengkonsumsi obat ARV tadi, ada sekitar 48 ribu ODHA yang mengkonsumsi ARV jenis TLE ini," katanya.
LSM IAC sangat berharap kali ini pemerintah bersikap serius dalam menangani proses pengadaan obat ARV jenis TLE in karena selain ini akan sangat menghemat uang negara, selain itu penghematan ini juga akan bisa menambah jumlah cakupan pemberian obat ARV dan juga bisa digunakan guna mendanai program penanggulangan AIDS lainnya.