“Karena itu penting sekali untuk melakukan check-up, saya sarankan mulai umur 35-36 tahun. Banyak orang menganggap salah gejala penyakit jantung, ‘saya gak sesak kok, gak sakit dada kok’ padahal bukan itu indikasinya. Begitu kena, seperti maag, lemas, orang bilangnya angin duduk. Padahal itu kena serangan jantung,” jelas dr Dasaad.
Orang Berduit Juga Butuh Edukasi
Hal lain yang ingin disampaikan dr Dasaad dari video yang ditayangkan dalam presentasinya adalah betapa urgennya penanganan penyakit jantung secara cepat.
“Memang nyawa itu di tangan Allah, tapi ikhtiar juga menjadi kewajiban kita lho untuk mengupayakan yang terbaik,” kata dia.
Meski butuh penanganan cepat, kata dia, dari pengalamannya menghadapi banyak pasien dari kalangan atas, justru banyak di antara mereka yang menunda-nunda penanganan karena masalah trust dan kredibilitas medis.
Faktor inilah, kata dr Dasaad, yang memunculkan keprihatinannya akan banyaknya pasien yang membutuhkan penanganan cepat, namun memilih second opinion lewat berobat ke luar negeri meski kualitas dokter dan layanan rumah sakit di Indonesia tak kalah dari luar negeri.
“Saya punya pasien yang punya jet pribadi. Ternyata, punya jet pribadi itu pun takes time untuk terbang. Orang kalau kena serangan jantung lalu maunya ke rumah sakit di Singapura, ya besok sudah ‘lewat’ semua. Sekonglomerat apapun, Anda tetap butuh dokter lokal. Jadi kalangan menengah atas yang notabennya memiliki kemampuan membayar pun butuh edukasi soal ini,” kata dr Dasaad.
Dari pengalamannya juga, dr Dasaad, mengambil sejumlah poin kesimpulan dari alasan-alasan mengapa banyak pasiennya memilih berobat di luar negeri.
Keunggulan teknologi, kemampuan medik, serta faktor keramahan pelayanan umumnya menjadi pendorong utama orang Indonesia berobat ke luar negeri.
“Pada video di atas misalnya, bahkan sekuriti RS di sana bisa melakukan teknik CPR, di kita? Belum tentu. Atau misalnya soal pelayanan, saya pernah dapat komplain pasien gak bisa tidur semaleman. Saya tanya kenapa, pasiennya bilang diminta suster untuk mengamati infus. Dia bilang, “suster bilang ‘kalau infusnya habis panggil saya ya bu’. Jadi saya pantau terus infusnya dan ga bisa tidur”. Faktor-faktor kayak ini kan soal sikap saja ya dan bisa kita tingkatkan,” kata dr Dasaad.
Soal ‘trust’, dr Dasaad menceritakan, seorang pasiennya juga enggan membeli obat di dalam negeri karena takut palsu.
“Padahal obat di sini dengan yang ada di Singapura sama. Ada juga yang secara halus menolak ditangani dokter lokal, padahal kemampuan kita tidak kalah. Hal-hal seperti ini yang butuh concern dari pemerintah,” kata dia.
Akibat tren berobat ke luar negeri, puluhan triliun devisa lari ke luar negeri meski kualitas dokter dan fasilitas medik di Indonesia tak kalah dari luar negeri.
Dalam catatan pribadinya, dr Dasaad menilai Malaysia sebagai saingan terberat Indonesia.